Hasil Fatwa Munas MUI: PBB Tak Layak Dipungut, Ini Respons Bos Pajak
Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto merespons fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menganggap tak layaknya pemerintah memungut pajak bumi dan bangunan (PBB), karena merupakan kebutuhan dasar masyarakat layaknya sembako.
Bimo menegaskan, jenis pajak seperti PBB merupakan pungutan yang dilakukan pemerintah daerah melalui pungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBBP2) yang menjadikan rumah masyarakat sebagai objek pajak. Sedangkan pemerintah pusat tak mengenal jenis pajak itu.
Menurutnya, PBB yang dikenal pemerintah pusat ialah objek pajak tanah dan bangunan yang digunakan oleh pelaku usaha di berbagai sektor terkait pertambangan, perkebunan, perikanan, hingga kehutanan.
"Jadi, kebijakan tarif, kenaikan dasar pengenaan, semuanya di daerah. Kita juga sudah diskusi dengan MUI sebelumnya Jadi nanti coba kita tabayun dengan MUI, karena sebenarnya yang ditanyakan itu PBB P2," kata Bimo saat ditemui di kawasan DPR, Jakarta, Senin (24/11/2025).
Oleh sebab itu, ia menekankan, bila yang dimaksud ialah PBB P2, dan diserupakan dengan sembako atau kebutuhan dasar lainnya, bukan menjadi objek pajak yang dipungut pemerintah pusat. Ia pun memastikan, pemerintah pusat tidak pernah memungut pajak yang terkait dengan kebutuhan dasar masyarakat.
"Memang kalau barang seputar kebutuhan dasar masyarakat memang tidak pernah dikenakan, seperti PPN (Pajak Pertambahan Nilai) nya itu kan 0%," ujar Bimo.
Sebagaimana diketahui, fatwa MUI terkait PBB P2 merupakan hasil Musyawarah Nasional (Munas) XI yang digelar pada 20 hingga 23 November 2025 di Mercure Convention Center, Ancol, Jakarta.
Ketua Komisi Fatwa Munas XI MUI Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh menyampaikan fatwa tentang Pajak Berkeadilan menegaskan bahwa bumi dan bangunan yang dihuni tak layak dikenakan pajak berulang.
Ketua MUI Bidang Fatwa ini menambahkan fatwa Pajak Berkeadilan ditetapkan sebagai tanggapan hukum Islam tentang masalah sosial yang muncul akibat adanya kenaikan PBB yang dinilai tidak adil.
"Sehingga meresahkan masyarakat. Fatwa ini diharapkan jadi solusi untuk perbaikan regulasi," kata ulama yang akrab disapa Prof Ni'am di sela-sela Munas XI MUI di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, Ahad (23/11/2025) malam.
Lebih lanjut, Guru Besar Bidang Ilmu Fikih UIN Jakarta ini menegaskan bahwa objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan dan atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat).
"Jadi pungutan pajak terhadap sesuatu yang jadi kebutuhan pokok, seperti sembako, dan rumah serta bumi yang kita huni, itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak," tegas Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat ini.
Prof Ni'am menjelaskan, pada hakikatnya pajak hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial.
"Kalau analog dengan kewajiban zakat, kemampuan finansial itu secara syariat minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas. Ini bisa jadi batas PTKP," ujarnya.
Dari fatwa ini, MUI pun meminta Pemerintah dan DPR berkewajiban mengevaluasi berbagai ketentuan perundang-undangan terkait perpajakan yang tidak berkeadilan dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman
Lalu, meminta Kemendagri dan pemerintah daerah mengevaluasi aturan mengenai pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai (PPn), pajak penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan(PBB), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), pajak waris yang seringkali dinaikkan hanya untuk menaikkan pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat
(arj/haa)