Usai Paracetamol-Mikroplastik, BRIN Temukan Obat Diabetes di Air DKI
Jakarta, CNBC Indonesia - Terungkap bahwa daerah perairan di Jakarta yang tercemar sampah, juga mengandung limbah obat-obatan. Hal itu terungkap dalam penelitian Senior Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wulan Koagouw. Koagouw bercerita pada 2021 silam, risetnya menemukan Teluk Jakarta terkontaminasi material acetaminophen atau parasetamol.
Dan kini, dalam penelitian terbarunya, yakni pada Juni 2022, Wulan bersama tim peneliti dari BRIN, Laboratorium Kesehatan DKI Jakarta, serta dua universitas di Inggris mendapati metformin di tiga dari enam titik sampel di Sungai Angke. Hal itu diceritakannya dalam tulisannya berjudul "Setelah temuan parasetamol di Teluk Jakarta, riset temukan obat diabetes terdeteksi di sungai ibu kota" yang ditayangkan The Conversation pada 14 November 2025.
Metformin merupakan obat untuk mengontrol kadar gula darah orang dengan diabetes tipe 2. Tidak seperti obat pada umumnya, metformin tidak hancur diolah oleh tubuh manusia, dan keluar hampir utuh melalui urine.
Lantas, obat tersebut langsung masuk ke sistem pembuangan rumah tangga melalui urine. Gawatnya, di kota metropolitan seperti Jakarta, sebagian besar limbah dari toilet domestik berujung di sungai tanpa diolah secara memadai.
Koagouw menjelaskan bahwa Sungai Angke menerima beban pencemaran dari berbagai sumber. Mulai dari limbah domestik yang tak diolah, limbah industri, hingga sampah padat.
Analisis kualitas air di enam titik sampel yang Koagouw dan tim lakukan menunjukkan tingkat pencemaran yang bervariasi antara 27 hingga 414 nanogram per liter (ng/L). Situs ketiga memiliki kadar metformin tertinggi, ditandai dengan air yang lebih keruh, warna air yang pekat, dan kadar mangan (unsur logam) yang sangat tinggi.
Koagouw memperingatkan penemuan metformin di Sungai Angke tidak bisa dianggap sepele. Walau kadarnya tidak separah di negara lain, tapi juga tidak bisa dibilang aman.
Penelitian Koagouw menemukan kadar terendah metformin di Sungai Angke lebih tinggi daripada 5% data sungai di dunia. Sedangkan kadar tertingginya lebih tinggi daripada 40% data global, sehingga cukup mengkhawatirkan.
Perlu diingat juga, studi-studi sebelumnya sudah membuktikan bahwa metformin berdampak negatif terhadap organisme air, bahkan pada kadar rendah sekitar 100 ng/L saja sudah bisa memicu efek biologis. Ambil contoh pada kerang biru (Mytilus edulis), kandungan metformin dapat memicu gangguan reproduksi dan kerusakan jaringan tubuh. Kemudian pada ikan, metformin bisa menghambat perkembangan embrio, pertumbuhan, metabolisme, dan sistem reproduksi.
Lebih mengkhawatirkan lagi, Koagouw menyebut metformin sulit terurai secara alami. Tanpa degradasi yang sempurna, senyawa kimia ini dan produk turunannya (guanylurea) dapat dengan mudah terkumpul dan masuk lagi ke dalam rantai makanan.
Air sungai yang terkontaminasi juga sangat mungkin digunakan untuk irigasi pertanian atau perikanan. Pada akhirnya, metformin bisa kembali masuk ke tubuh manusia lewat air minum, ikan, atau sayuran yang menggunakan air tercemar.
Secara jangka panjang, paparan terhadap residu metmorfin dapat menimbulkan risiko serius bagi kesehatan manusia, walau dampak pastinya masih terus diteliti.
Koagouw menyebut perlunya regulasi. Memang, saat ini pemerintah sudah mengatur standar baku mutu air sungai atau limbah. Tetapi, obat-obatan farmasi seperti metformin belum termasuk dalam daftar resmi zat berbahaya yang diatur dalam regulasi.
Ia menyimpulkan, keberadaan parasetamol di Teluk Jakarta dan metformin di Sungai Angke menjadi tanda bahwa obat-obatan kini sudah menjadi varian polutan baru di dalam siklus air yang masyarakat gunakan sehari-hari.
Mikroplastik di Air Hujan Jakarta
Sebelumnya, Peneliti BRIN Muhammad Reza Cordova mengungkapkan hasil penelitian yang menemukan kandungan partikel mikroplastik berbahaya di air hujan Jakarta. Kandungan itu berasal dari aktivitas manusia di perkotaan.
"Temuan ini menjadi peringatan bahwa polusi plastik kini tidak hanya mencemari tanah dan laut, tetapi juga atmosfer," katanya dalam keterangan di situs resmi BRIN, Jumat (17/10/2025).
"Mikroplastik ini berasal dari serat sintetis pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran sampah plastik, serta degradasi plastik di ruang terbuka," tambahnya.
Disebutkan, penelitian dilakukan sejak 2022 dan menunjukkan adanya mikroplastik dalam setiap sampel air hujan di ibu kota.
"Partikel-partikel plastik mikroskopis tersebut terbentuk dari degradasi limbah plastik yang melayang di udara akibat aktivitas manusia," jelasnya.
Di sisi lain, dia menambahkan, meski penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan, studi global menunjukkan bahwa paparan mikroplastik dapat menimbulkan dampak kesehatan serius. Sperti stres oksidatif, gangguan hormon, hingga kerusakan jaringan. Dari sisi lingkungan, air hujan bermikroplastik berpotensi mencemari sumber air permukaan dan laut, yang akhirnya masuk ke rantai makanan.
"Yang beracun bukan air hujannya, tetapi partikel mikroplastik di dalamnya karena mengandung bahan kimia aditif atau menyerap polutan lain," tegas Reza.
(dce)