Peran & Dukungan Perbankan dalam Mendorong Ketahanan Energi Nasional
Jakarta, CNBC Indonesia - Peran energi sangat penting dalam mendorong perekonomian nasional. Sehingga pengelolaannya perlu dilakukan dengan sangat baik.
Terlebih lanskap energi global sedang mengalami pergeseran fundamental, dan mendorong permintaan global menjadi sebuah peluang di kawasan regional.
Presiden Direktur Bank DBS Indonesia, Lim Chu Chong mengatakan, pada tahun 2024, permintaan energi global tumbuh sebesar 2,2%, dengan permintaan listrik naik sebesar 4,3%, dipimpin oleh negara-negara berkembang Asia, terutama Tiongkok dan India. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya negara kawasan bagi pertumbuhan global.
Namun, pertumbuhan tersebut juga disertai tanggung jawab untuk mencapai ambisi nol bersih. Untuk di Asia lanjutnya membutuhkan sekitar USD 1,5 triliun dalam investasi infrastruktur energi baru pada tahun 2050.
Di sisi lain, Indonesia pada tahun lalu menghabiskan sekitar USD 36 miliar untuk impor minyak dan gas. Kondisi ini mempertegas bahwa percepatan transisi menuju sumber energi yang lebih bersih dan lebih mandiri harus segera dilakukan.
"Pemangku bisnis harus berkomitmen untuk bertransisi secara bertanggung jawab dan berinvestasi dalam operasi yang berkelanjutan. Di sisi lain, pemerintah harus mewujudkannya melalui kebijakan yang jelas dan jangka panjang. Kami di sektor perbankan harus menjembatani ambisi dengan tindakan, dan modal dengan dampak," ungkap dia dalam Coffee Morning CNBC Indonesia dengan tema "Building National Energy Security: Balancing Infrastructure, Energy Transition, and Resource Sovereignty", Selasa (18/11/2025).
Lim pun menuturkan DBS sendiri memiliki komitmen untuk menjadi mitra tepercaya untuk transisi, ketahanan, dan pertumbuhan energi berkelanjutan.
Setidaknya lanjut Lim, ada 3 upaya yang dilakukan pihaknya untuk memperkuat ketahanan energi nasional dan regional. Pertama yakni mendorong pembiayaan infrastruktur berkelanjutan dan transisi Energi.
Menurut Lim, infrastruktur merupakan tulang punggung ketahanan energi. Namun, Asia menghadapi kesenjangan investasi triliunan dolar dalam energi bersih dan sistem pendukungnya.
IEA (Badan Energi Internasional) bahkan memperkirakan bahwa negara-negara berkembang di Asia akan membutuhkan lebih dari USD 2 triliun dalam investasi energi bersih setiap tahunnya pada tahun 2030.
Di Indonesia, DBS mendukung Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP), membantu mempercepat penerapan energi terbarukan sekaligus memastikan transisi yang adil bagi masyarakat terdampak.
"DBS berupaya untuk menutup kesenjangan tersebut dengan membiayai proyek-proyek yang memperkuat keandalan energi dan tujuan transisi. Kami telah memobilisasi lebih dari SGD 100 miliar dalam pembiayaan berkelanjutan dan transisi, mulai dari pembangkitan energi terbarukan hingga modernisasi dan penyimpanan jaringan," terangnya.
Sementara upaya kedua yang dilakukan DBS yakni mendorong inovasi & model pembiayaan baru.
Menurut Lim, pihaknya terus mendorong inovasi uji coba hidrogen hijau, penangkapan karbon, dan penyimpanan baterai, yakni teknologi yang penting untuk menstabilkan sistem energi dan mengurangi emisi.
Selain itu, DBS juga memelopori struktur pembiayaan campuran, yang menyatukan pemerintah, investor, dan lembaga pembangunan untuk mengumpulkan sumber daya dan berbagi risiko.
Ketiga DBS selalu berupaya menjalin kemitraan dengan pemerintah atau pembuat kebijakan. Hal ini dilakukan karena ketahanan energi yang berkelanjutan membutuhkan keselarasan yang kuat antara keuangan, industri, dan kebijakan pemerintah.
DBS secara aktif berkolaborasi dengan pemerintah di seluruh ASEAN untuk mengembangkan taksonomi transisi, standar keuangan hijau, dan model keuangan campuran yang menarik modal global ke dalam prioritas nasional.
"Misalnya, kami bekerja sama dengan mitra publik dan multilateral untuk mengurangi risiko investasi dalam infrastruktur energi terbarukan dan jaringan tahap awal menciptakan kondisi keuangan untuk akses energi yang lebih cepat dan lebih luas. Pasalnya, ketika kejelasan kebijakan, komitmen bisnis, dan inovasi keuangan bersatu, transformasi menjadi dapat dicapai," pungkasnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Sugeng Suparwoto mengatakan, transisi energi menjadi sebuah hal yang luar biasa menantang.
Apalagi di migas (minyak dan gas), Indonesia masih impor sekitar 1,157 juta barrel per hari. Sehingga menurutnya, transisi energi semakin tidak terelakan dan perlu didorong lebih cepat lagi.
"Minyak, gas, dan batu bara sudah jadi persoalan, baik ekonomi maupun lingkungan. Belum lagi ada tantangan kualitatif dan kuantitatif sekaligus. Kita komitmen untuk bagaimana bumi ini lestari. Karena kita sadar bahwa selain forest and other land use, tetapi juga energi, baik di transportasi dan industri, menyumbang emisi," tegas Sugeng.
Sementara itu, CEO Sun Energy, Emmanuel Jefferson Kuesar memandang saat ini sudah semakin banyak perusahaan dan juga perseorangan yang sadar soal dekarbonisasi. Terlebih untuk sektor bisnis, ada kesadaran soal competitiveness. Sehingga perbankan dengan senang hati membantu industri dalam mendorong transisi energi, khususnya dalam hal pembiayaan. "Karena kalau ngomongin financing sebenarnya tidak menjadi masalah saat ini ya," tegasnya.
Head of Institutional Banking Group Bank DBS Indonesia, Anthonius Sehomin menambahkan, bahwa pihaknyanya sejauh ini tidak hanya memberikan dukungan dalam bentuk financing. DBS juga memiliki komitmen strategis kepada clientnya untuk mendorong penerapan ESG.
DBS sangat support mendorong program energi baru terbarukan kepada client-clientnya, baik dari lokal, multinasional maupun juga BUMN. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa perusahaan sangat berkomitmen dalam mendorong ketahanan energi nasional dan regional.
"Jadi saya mau jelaskan sekali lagi, kalau dari DBS Kami sangat support, support push dari pemerintah untuk energi terbaru, baik dari sisi financing-nya, maupun dari sisi programnya," terangnya.
(dpu/dpu)