Kisruh dengan China, Jepang "Kebakaran Jenggot"-Situasi Kacau Balau
Jakarta, CNBC Indonesia - Jepang tengah menghadapi "badai" besar dari China menyusul komentar spontan oleh Perdana Menteri Sanae Takaichi. Kendati tidak dimaksudkan sebagai sinyal perubahan menuju sikap garis keras, hal itu telah memicu perselisihan terbesar Jepang dengan China dalam beberapa tahun terakhir.
Dua pejabat pemerintah yang memahami persoalan tersebut mengungkapkan Takaichi tampaknya akan kesulitan meredakan sengketa yang dapat memukul ekonomi Negeri Sakura tersebut.
China pun telah menunjukkan ketidaksenangannya dengan langkah-langkah yang dirancang untuk memberikan tekanan pada ekonomi terbesar keempat di dunia itu.
Langkah-langkah itu mencakup boikot perjalanan, penghentian impor produk laut Jepang, serta pembatalan pertemuan dan acara budaya.
Namun Takaichi tidak dapat memenuhi tuntutan inti Beijing untuk menarik kembali komentarnya bahwa serangan terhadap Taiwan, pulau yang diperintah secara demokratis dan diklaim China, dapat memicu respons militer dari Tokyo.
"Akan lebih baik untuk tidak mengatakannya, tetapi itu tidak salah," kata salah satu pejabat, yang meminta anonim karena isu tersebut sensitif, dilansir Reuters, Kamis (20/11/2025). "Kami tidak bisa menariknya kembali."
Adapun jajak pendapat menunjukkan komentar tersebut tidak merusak popularitas Takaichi yang tetap kuat di dalam negeri.
"Pernyataannya tidak mengubah posisi pemerintah yang sudah ada," kata juru bicara kantornya, seraya menambahkan, "Jepang tetap terbuka terhadap berbagai bentuk dialog antarakedua negara."
Sampai sekarang, para pemimpin Jepang telah menghindari penyebutan Taiwan dalam diskusi publik terkait skenario seperti itu, mengikuti ambiguitas strategis yang juga dianut oleh sekutu keamanan utama Tokyo, Amerika Serikat.
"Takaichi secara tidak sengaja menjebak dirinya sendiri dan memang tidak ada jalan keluar langsung," kata Jeremy Chan, analis senior Asia Timur Laut di konsultan risiko politik Eurasia Group.
Sebagai seorang mantan diplomat AS yang pernah bertugas di China dan Jepang, Chan mengatakan dapat terjadi "musim dingin panjang" dalam hubungan dua ekonomi terbesar di Asia ini yang berlanjut sepanjang masa jabatan Takaichi.
Hal itu mulai terlihat setelah Beijing telah menolak kemungkinan pertemuan pemecah kebekuan antara Takaichi dan Perdana Menteri China Li Qiang di sela pertemuan G20 akhir pekan ini di Afrika Selatan.
Beberapa analis membandingkan keretakan hubungan saat ini dengan yang terjadi pada 2012 ketika keputusan Tokyo untuk menasionalisasi pulau sengketa memicu protes besar anti-Jepang di China. Para pemimpin kedua negara tidak bertemu selama dua setengah tahun dalam sengketa tersebut.
"Jika penurunan hubungan saat ini berlangsung seperti saat itu, kerusakan ekonomi bagi Jepang akan sangat besar," kata Takahide Kiuchi, ekonom eksekutif di Nomura Research Institute.
Dia memperkirakan boikot perjalanan dari China saja dapat merugikan Jepang lebih dari US$14 miliar setiap tahun.
Sementara itu, pejabat pemerintah Jepang mengungkapkan ketakutan yang lebih besar adalah kemungkinan China menutup pasokan mineral penting yang digunakan dalam produk dari elektronik hingga mobil.
Menurut perkiraan firma riset makro Capital Economics, meski Jepang telah berupaya melakukan diversifikasi, China masih memasok sekitar 60% impor logam tanah jarang.
Marcel Thieliant, kepala riset Asia di firma tersebut mengatakan boikot yang lebih luas terhadap barang Jepang di China, seperti yang terlihat pada 2012, dapat menyebabkan penurunan penjualan setara dengan sekitar 1% PDB Jepang dan menghantam industri otomotifnya.
Upaya Tokyo meredam krisis pun justru memperlihatkan betapa dalam jurang antara kedua negara. Dalam pertemuan di Beijing pada Selasa, pejabat senior China Liu Jinsong menyebut pembicaraan dengan delegasi Jepang sebagai "solemn" atau "hikmat'. Ringkasan resmi kedua pihak menunjukkan bahwa masing-masing tetap pada posisi semula.
Bahkan pakaian Liu menjadi sorotan. Media pemerintah China menyoroti jas kerah tanpa kancing khas yang dikenakannya, gaya yang terkait dengan gerakan mahasiswa tahun 1919 yang memprotes imperialisme Jepang dan menjadi momen penting dalam perjalanan modern China.
Rekaman televisi China memperlihatkan Liu berdiri agak jauh dari delegasi Jepang dengan kedua tangan di dalam kantong, gestur yang di budaya diplomasi dianggap sebagai bentuk ketidakhormatan dalam forum resmi.
"China jelas melakukan sebagian besar diplomasi di balik pintu tertutup," kata Chan dari Eurasia Group.
"Mereka ahli dalam hal itu. Jadi fakta bahwa mereka melakukan ini di depan kamera menunjukkan bahwa mereka ingin seluruh dunia menyaksikannya."
Kedua pejabat pemerintah Jepang mengatakan tidak ada jalan jelas untuk mengakhiri kebuntuan tersebut. "Saat ini bahkan belum ada titik awal untuk perbaikan," kata pejabat kedua.
Seorang diplomat China awalnya tampak mengancam pemenggalan terhadapnya dalam unggahan media sosial yang cepat dihapus. Seorang komentator nasionalis terkemuka menyebutnya "penyihir jahat", dan sebuah kartun di akun X angkatan bersenjata China menggambarkannya sedang membakar konstitusi pasifis Jepang.
"Saya skeptis ada jalan keluar dalam waktu dekat, setidaknya sampai mereka (China) tergelincir lagi dalam hubungan dengan Washington dan merasa perlu mencoba menarik Jepang menjauh," kata seorang diplomat senior AS di Asia, yang berbicara tanpa menyebut nama.
(luc/luc)