CNBC Insight

Akar Masalah Konflik China-Jepang, Luka Lama Pembantaian 200.000 Orang

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
Jumat, 21/11/2025 06:30 WIB
Foto: Ilustrasi bendera Jepang dan China

Jakarta, CNBC Indonesia - Hubungan China dan Jepang kembali memanas. Pernyataan Perdana Menteri Jepang Sane Takaichi soal kemungkinan keterlibatan negaranya jika China menyerang Taiwan menjadi pemantik terbaru ketegangan dua kekuatan Asia tersebut.

Namun friksi ini sejatinya hanyalah permukaan dari konflik panjang yang membuat hubungan Jepang-China tak pernah benar-benar pulih. Sejak abad ke-19, kedua negara sudah memang menunjukkan rivalitas. Kebangkitan militer Jepang pasca-Restorasi Meiji membuat Negeri Matahari Terbit mulai menantang pengaruh China di Asia Timur, hingga memicu Perang China-Jepang I pada 1894.

Babak tergelap kemudian muncul pada dekade 1930-an ketika Jepang memperluas agresinya ke daratan China, khususnya Manchuria.


Mengutip Britannica, wilayah itu diincar bukan hanya karena kaya sumber daya, tetapi juga posisinya yang strategis sebagai pintu masuk ke jantung Asia. Dengan menguasai Manchuria, maka Jepang bisa masuk ke Korea dan dataran China lebih luas. Terlebih, situasi ini terjadi saat China tengah dilanda konflik internal. Jepang melihatnya sebagai peluang.

Didorong ambisi imperialisme dan dominasi faksi militer yang kian tak terkendali, Jepang akhirnya melakukan invasi ke Manchuria pada 1931.

Sejak saat itu, Jepang melakukan penjajahan terhadap masyarakat secara brutal. Namun, ini hanyalah awal sebab enam tahun kemudian muncul tragedi paling kelam dalam hubungan kedua negara, yakni Pembantaian Nanking. Pada akhir 1937, pasukan Jepang bergerak dari Shanghai menuju ibu kota nasionalis China itu, yakni Nanking.

Pertahanan Nanking yang sedari awal sudah lemah membuat Jepang berhasil masuk tanpa perlawanan berarti. Dari sini, Jepang memulai salah satu kekejaman terbesar abad ke-20. Ribuan tentara China yang telah menyerah diikat, dibawa ke tepi Sungai Yangtze, lalu dibunuh dengan bayonet.

Dikutip dari buku The Nanjing Massacre (1999), tentara China yang berhasil lolos dari kekejaman Jepang, Luo Zhong, mengungkap kejadian itu berlangsung selama berjam-jam tanpa henti. Sampai akhirnya, Sungai Yangtze berubah menjadi merah karena darah. 

Serangan pun tidak hanya menyasar tentara, tetapi juga warga sipil. Puluhan ribu perempuan, mulai dari anak-anak hingga lansia, mengalami pemerkosaan brutal dan banyak yang dibunuh setelah disiksa. Dalam hari-hari berikutnya, Nanking berubah menjadi penjarahan, pembakaran, dan penghancuran bangunan berlangsung masif. Tercatat sepertiga kota hancur lebur.

Jepang melakukan ini selama empat hari non-stop hingga Nanking benar-benar dikuasai Jepang pada 17 Desember 1937. Pada titik ini, Jepang merayakannya dengan parade di tengah reruntuhan dan tumpukan jenazah orang China. Tercatat, ada 200 ribu korban tewas dan jutaan lainnya luka-luka. Meski begitu, kekerasan tak benar-benar berhenti. Di bawah teater Perang Dunia II,  kekejaman serupa terus terjadi di wilayah China.

Semua itu baru mereda setelah Perang Dunia II usai. Namun bukan berarti ketegangan hilang. Isu-isu baru tetap bermunculan, termasuk soal Taiwan. Luka sejarah itulah yang terus membayangi hubungan Jepang-China.

Meski kini sama-sama menjelma menjadi raksasa ekonomi, relasi keduanya tetap rapuh. Akibatnya, setiap isu baru, sekecil apapun, selalu berpotensi meledak, sebab "bahan bakarnya" sudah tertimbun sejak lama.


(mfa/luc)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Krisis Diplomatik Jepang & China Picu Gelombang Pembatalan Tur