Benci tapi Rindu 2 Negara Adidaya, AS Jadi Pengutang Terbesar ke China
Jakarta, CNBC Indonesia - Hubungan Amerika Serikat (AS) dan China sebagai dua negara dengan ekonomi terbesar dunia kerap diwarnai oleh ketegangan geopolitik. Namun, sebuah laporan riset terbaru mengungkap bahwa Amerika Serikat justru menjadi negara yang paling banyak menerima pinjaman dari China, melampaui Rusia, Australia, hingga negara-negara berkembang yang selama ini dikaitkan dengan Belt and Road Initiative (BRI).
Laporan komprehensif tersebut disusun AidData, laboratorium riset di College of William & Mary, Virginia, melalui basis data raksasa mencakup 24 tahun aktivitas pendanaan Beijing. Hasilnya menunjukkan bahwa pinjaman luar negeri China antara 2000-2023 mencapai US$2,2 triliun, jauh lebih besar dari estimasi yang selama ini beredar.
"Secara keseluruhan, ukuran portofolio China dua hingga empat kali lebih besar dibandingkan perkiraan-perkiraan yang pernah dipublikasikan sebelumnya," ujar Brad Parks, Direktur Eksekutif AidData sekaligus penulis utama laporan berjudul Chasing China: Learning to Play by Beijing's Global Lending Rules, sebagaimana dikutip Newsweek, Rabu (19/11/2025).
AidData menemukan bahwa Amerika Serikat menerima US$202 miliar dalam bentuk hampir 2.500 proyek dan aktivitas, tersebar di hampir seluruh negara bagian. Jumlah ini menempatkan AS sebagai penerima terbesar pinjaman China.
Posisi berikutnya ditempati Rusia (US$172 miliar), Australia (US$130 miliar), dan Venezuela (US$106 miliar).
Temuan ini membalik asumsi publik selama dua dekade bahwa pinjaman China terutama menyasar negara berkembang penerima BRI. Sebaliknya, lebih dari tiga perempat pinjaman China kini mengalir ke negara-negara maju, dan sebagian besarnya bersifat strategis, bukan semata pembangunan.
Laporan tersebut mendapati pola konsisten bahwa Beijing menggunakan apa yang disebut sebagai economic statecraft-menggunakan instrumen ekonomi untuk tujuan politik dan keamanan nasional.
"ebagian besar pinjaman kepada negara-negara kaya difokuskan pada infrastruktur strategis, mineral penting, dan akuisisi aset teknologi tinggi seperti perusahaan semikonduktor," kata Parks.
AidData menyimpulkan bahwa China menyesuaikan penyaluran pinjaman untuk mendukung ambisi menjadi kekuatan teknologi dan industri terbesar di dunia, bahkan melampaui AS dan sekutu-sekutunya.
Laporan tersebut juga menyoroti bahwa pendekatan agresif China kini ikut memengaruhi cara negara-negara Barat menggunakan bantuan dan kredit.
AidData menunjuk contoh bantuan AS sebesar US$20 miliar kepada Argentina, menyebut bahwa "Pemerintahan Trump baru-baru ini meniru langkah yang biasa dilakukan Beijing".
Laporan itu juga mengungkap bahwa baik pemerintahan Biden maupun Trump terlibat dalam upaya membiayai akuisisi aset strategis di negara-negara berpendapatan tinggi atas nama keamanan nasional. Beberapa aset yang disebut antara lain Pelabuhan Piraeus, Yunani; deposit tanah jarang Tanbreez, Greenland; Terusan Panama; dan Pelabuhan Darwin, Australia.
Laporan ini turut mengaitkan pembongkaran lembaga bantuan tradisional USAID oleh pemerintahan Trump dengan tekanan kompetisi dari China.
Kongres Amerika Serikat disebut tengah mempertimbangkan mengalihkan dana dari USAID untuk menaikkan batas pinjaman lembaga lain, U.S. International Development Finance Corporation (DFC), dari US$60 miliar menjadi US$250 miliar.
Jika terlaksana, langkah ini akan memberi DFC kewenangan lebih besar untuk beroperasi di negara-negara maju dalam proyek-proyek bernilai strategis bagi keamanan nasional AS.
(luc/luc)