MARKET DATA

MPR Ungkap Alasan 60% Sampah di RI Tidak Bisa Dikelola dengan Baik

Elga Nurmutia,  CNBC Indonesia
19 November 2025 16:24
Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno memberi pemaparan dalam diskusi panel di acara Waste to Energy Investment Forum 2025 dengan tema ”Economic Gains, Environmental Wins” di Gedung Menara Bank Mega, Jakarta, Rabu (19/11/2025). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno memberi pemaparan dalam diskusi panel di acara Waste to Energy Investment Forum 2025 dengan tema ”Economic Gains, Environmental Wins” di Gedung Menara Bank Mega, Jakarta, Rabu (19/11/2025). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno mengatakan bahwa sejumlah tantangan masih dihadapi Indonesia dalam upayanya mengelola sampah.

Eddy menyebut, setiap tahun Indonesia memproduksi kurang lebih 56 juta ton sampah. Dari jumlah tersebut, hanya 40% saja yang bisa dikelola. Adapun sisa 60% dari jumlah sampah itu belum dapat dikelola.

"Dari sisa 60% itu, 20% itu dibuang secara ilegal, di TPA-TPA yang rata-rata di seluruh Indonesia sudah mencapai 80%-90% kapasitas. Sisa 40% lagi yang tidak terkelola, bagaimana nasibnya? Yaitu dibuang di ruang-ruang publik, termasuk juga di bantaran-bantaran kali," ujar dia dalam Waste to Energy Investment Forum 2025, Rabu (19/11/2025).

Tidak heran jika sekitar 60% aliran sungai di Indonesia telah tercemar oleh sampah. Sumber terbesar sampah tersebut berasal dari rumah tangga, kemudian diikuti oleh sampah dari pasar. Jenis sampah yang paling banyak mencemari sungai adalah plastik, setelahnya yaitu sisa makanan. Kondisi ini tentu menjadi masalah serius bagi seluruh masyarakat.

Oleh sebab itu, dengan lahirnya, Peraturan Presiden (Perpres) No. 109 tahun 2025, penanganan dan pengolahan sampah diharapkan akan makin dipermudah. Dahulu, penanganan dan pengolahan sampah terfragmentasi di pemerintah daerah melalui proses yang panjang. Sekarang, kewenangan ini diserahkan semuanya ke pemerintah pusat.

"Sesungguhnya berdasarkan Undang-Undang pengelolaan sampah, sampah itu menjadi kewenangannya pemerintah daerah dan pemerintah daerah harus sedianya mengalokasikan 3%-5% dari APBD-nya untuk bisa melakukan pengelolaan sampah. Rata-rata pemda yang ada itu menyediakan hanya 0,5%-0,7% dari APBD-nya untuk pengelolaan sampah," ungkap Eddy.

Eddy memberi contoh, Kota Surabaya mampu mengelola sampah dengan baik lantaran pemerintah daerahnya menyediakan porsi 5,5% dari APBD untuk kebutuhan pengelolaan sampah.

Namun, hal itu belum cukup mengingat mayoritas alokasi dana dari APBD tersebut ditujukan untuk membayar tipping fee atau biaya yang dikeluarkan pemerintah daerah kepada pengelola fasilitas pengolahan sampah. Tipping fee dianggap memberatkan, sehingga diterbitkan peraturan di mana biaya ini ditiadakan dan sepenuhnya menjadi tanggungan pemerintah pusat.

Lebih lanjut, pemerintah juga meningkatkan keekonomian proyek Waste to Energy (WtE) dengan menaikkan harga beli listrik menjadi US$ 20 sen per kilowatt hour (kWh), sehingga diharapkan lebih menarik untuk investasi. Pengelolaan proyek WtE juga akan ditingkatkan, yang mana kontrak yang diberikan dapat mencapai 30 tahun dengan potensi break even dalam 7-8 tahun setelah proyek beroperasi.

Kebijakan seperti itu diharapkan akan memperbaiki proses birokrasi, sehingga proyek pengolahan sampah menjadi energi akan lebih menarik bagi investor. Diharapkan proyek seperti WtE bisa dipercepat, mengingat beban sampah yang ditanggung Tempat Pembuangan Akhir (TPA) semakin berat.

"Karena tidak mungkin kita hidup dengan kondisi permasalahan sampah yang semakin hari semakin menggunung," tandas dia.


(dpu/dpu)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: KemenLH Sanksi Daerah yang Tak Taat Aturan Pengelolaan Sampah

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular