Internasional

Kisruh China-Jepang Memanas: Xi Jinping "Ngamuk", Makan korban Baru

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
Rabu, 19/11/2025 20:00 WIB
Foto: Presiden China, Xi Jinping dan PM Jepang, Sanae Takaichi. (ANDREW CABALLERO-REYNOLDS / AFP)

Jakarta, CNBC Indonesia - China meningkatkan tekanan diplomatik dan ekonominya terhadap Jepang, ditandai dengan pengumuman larangan total impor seluruh produk makanan laut Negeri Tirai Bambu, Rabu (19/11/2025). Tindakan ini merupakan balasan keras atas pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi yang mengisyaratkan kesediaan Tokyo untuk merespons militer jika terjadi serangan ke Taiwan.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, menegaskan bahwa pernyataan Takaichi telah merusak fondasi politik hubungan kedua negara. Beijing menuntut agar Takaichi segera menarik kembali "pernyataan yang salah" tersebut dan mengambil langkah konkret untuk memulihkan hubungan.

"Jika Jepang menolak dan terus membuat kesalahan, China tidak akan ragu mengambil tindakan balasan yang "tegas dan keras", dan Jepang harus menanggung konsekuensi penuhnya," tegasnya dikutip Reuters.



Larangan total impor makanan laut ini menjadi pukulan ekonomi yang signifikan. Larangan serupa yang diberlakukan China dua tahun lalu akibat isu pelepasan air limbah Fukushima baru saja dilonggarkan beberapa bulan terakhir.

Sekitar 700 eksportir Jepang yang baru bersiap kembali memasuki pasar terbesar mereka di China kini harus kembali gigit jari.

Menanggapi larangan tersebut, Mao Ning menegaskan bahwa sentimen pasar di China telah berubah drastis, sehingga produk Jepang tidak lagi memiliki tempat.

"Dalam situasi saat ini, meskipun makanan laut Jepang diekspor ke China, ia tidak akan menemukan pasar," tambahnya.

Ketegangan diplomatik antara China dan Jepang mencapai titik didih baru menyusul pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi di parlemen yang menyinggung isu Taiwan.

Takaichi secara eksplisit menyatakan bahwa jika China melakukan serangan militer terhadap Taiwan, hal itu akan dikategorikan sebagai "situasi yang mengancam kelangsungan hidup Jepang," yang secara konstitusional akan memungkinkan Tokyo untuk memberikan respons militer sebagai bagian dari hak bela diri kolektif.

Meskipun Jepang menegaskan kebijakan resminya terhadap Taiwan tidak berubah, pernyataan Takaichi tersebut memicu kemarahan mendalam di Beijing, yang menganggap kedaulatan Taiwan sebagai "garis merah" yang tak boleh dilanggar oleh negara manapun.

Kemarahan Beijing ini segera diikuti dengan respons diplomatik dan retorika yang tidak lazim. Konsul Jenderal China di Osaka dilaporkan mengunggah pesan agresif di media sosial yang mengancam para pengkritik China, menggunakan metafora kekerasan yang diartikan oleh media sebagai seruan untuk 'memotong leher' bagi pihak yang menentang kebijakan Beijing.


Meskipun unggahan tersebut telah dihapus, retorika keras dan tak biasa ini menunjukkan tingginya tingkat kemarahan di lingkaran diplomatik China dan menjadi salah satu faktor yang memicu peringatan dari Tokyo agar warganya di China meningkatkan kewaspadaan keamanan.

Eskalasi politik tersebut dengan cepat diterjemahkan menjadi tindakan ekonomi yang merugikan. China menanggapi insiden tersebut dengan mengeluarkan peringatan keras kepada warganya untuk menahan diri melakukan perjalanan ke Jepang, yang menyebabkan pembatalan massal hingga ratusan ribu tiket penerbangan.

Sikap tegas China ini mengisyaratkan bahwa sanksi ekonomi akan terus digunakan sebagai alat untuk memaksa Tokyo mengubah pendiriannya. Di sisi lain, pihak Jepang, melalui juru bicaranya, Minoru Kihara, mengindikasikan bahwa Tokyo belum menerima pemberitahuan resmi larangan seafood dan belum ada rencana untuk menarik kembali pernyataan Takaichi.


(tps/luc)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Krisis Diplomatik Jepang & China Picu Gelombang Pembatalan Tur