Jelang Pengumuman Upah Minimum 2026, Bos Pengusaha Ajukan Angka Segini

Martyasari Rizky, CNBC Indonesia
Rabu, 19/11/2025 17:20 WIB
Foto: Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam usai acara diskusi media di gelaran TEI 2025, Rabu (15/10/2025). (CNBC Indonesia/Ferry Sandi)

Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menegaskan dukungannya terhadap formula penetapan upah minimum yang berbasis inflasi provinsi dan indeks tertentu terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, dunia usaha mengingatkan agar penetapan indeks tertentu (alpha) tetap harus berada pada batas moderat, demi menjaga keseimbangan antara perlindungan pekerja dan keberlanjutan usaha.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Apindo, Bob Azam menjelaskan, dunia usaha pada prinsipnya sejalan dengan pendekatan pemerintah dalam menetapkan upah minimum. Adapun upah minimum ditargetkan bisa diumumkan pada 21 November 2025 mendatang.

"Dunia usaha pada prinsipnya mendukung formula penetapan upah minimum yang mengacu pada inflasi provinsi dan indeks tertentu (α/alpha), yang mencerminkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, dengan tetap memperhatikan kemampuan perusahaan dan prinsip proporsionalitas dalam pemenuhan KHL (Kebutuhan Hidup Layak) secara bertahap," kata Bob kepada CNBC Indonesia, Rabu (19/11/2025).


Menurut Bob, rentang indeks alpha yang paling realistis dan proporsional bagi dunia usaha berada pada kisaran 0,1-0,5. Kisaran tersebut mencerminkan kondisi riil perusahaan di lapangan.

Ia menilai, masih tingginya biaya energi, logistik, serta biaya modal membuat perusahaan perlu berhati-hati dalam mengelola kenaikan upah. Sementara itu, aktivitas konsumsi belum pulih merata, ditambah tekanan pada sektor manufaktur, tekstil, properti, hingga perdagangan. Produktivitas tenaga kerja pun dinilai belum meningkat signifikan, sementara kebutuhan reskilling dan mismatch keterampilan masih besar.

Mayoritas perusahaan, kata Bob, juga belum berada pada fase ekspansi.

"Mayoritas perusahaan pun belum merencanakan ekspansi maupun investasi baru, sehingga ruang kenaikan upah perlu dijaga agar tidak menekan kemampuan bayar," jelasnya.

Karena itu, dia menilai indeks yang moderat dapat menjaga keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan usaha.

Sementara terkait dengan rentang indeks pemerintah yang kemungkinan berkisar di angka 0,2-0,7, dunia usaha pada dasarnya dapat menyesuaikan. Bob menyebut, prinsipnya adalah proporsionalitas sesuai kondisi tiap daerah.

Foto: Massa buruh dari Aliansi Federasi Serikat Pekerja-Serikat Buruh se-Jakarta menggelar aksi unjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta, Senin (17/11/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Massa buruh dari Aliansi Federasi Serikat Pekerja-Serikat Buruh se-Jakarta menggelar aksi unjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta, Senin (17/11/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

"Daerah dengan rasio upah minimum terhadap KHL lebih tinggi menggunakan indeks yang lebih kecil, agar penyesuaian tetap proporsional. Daerah dengan rasio upah minimum terhadap KHL lebih rendah dapat menerapkan indeks yang lebih besar dalam batas kewajaran dan kemampuan bayar," terang dia.

Lebih jauh, Bob menyampaikan, dunia usaha menghormati aspirasi serikat pekerja yang mengusulkan indeks tertentu berada di rentang 0,9-1,4. Namun, usulan alpha atau indeks tertentu itu dinilai tidak sejalan dengan kondisi ekonomi saat ini. Ia mengingatkan risiko serius apabila pemerintah menetapkan indeks terlalu tinggi.

Menurutnya, produktivitas tenaga kerja belum meningkat signifikan, sehingga kenaikan besar akan membebani perusahaan. Beban biaya tenaga kerja yang melonjak bisa menekan serapan tenaga kerja, terutama di sektor padat karya.

Ia menegaskan, kenaikan yang terlalu tinggi juga berbahaya bagi iklim investasi.

"Beban biaya yang meningkat dapat mempercepat pergeseran investasi dari industri padat karya menuju industri padat modal, yang berdampak pada berkurangnya peluang kerja," ujarnya.

Bob menambahkan, tren pemutusan hubungan kerja (PHK) sebelumnya banyak dipicu kenaikan biaya produksi dan tekanan permintaan. Usulan indeks yang tinggi, menurut dia, berpotensi memperburuk keadaan. Selain itu, perusahaan kecil juga bisa terdesak masuk ke ranah informal karena tidak sanggup mengikuti standar upah.

Karena itu, Bob menegaskan pentingnya kehati-hatian pemerintah. "Oleh karena itu, pengusaha memandang bahwa kebijakan upah minimum harus diterapkan secara bertahap, terukur, dan mempertimbangkan keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan kondisi usaha," pungkasnya.


(wur)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Pengusaha Ungkap Fenomena PHK di Balik Ekspansif PMI Manufaktur