Laba Singapore Airlines Anjlok 82%, Air India Biang Kerok
Jakarta, CNBC Indonesia - Laba Singapore Airlines (SIA) anjlok 82% di kuartal-II (Q2) 2025). Ini jauh di bawah proyeksi akibat penurunan Air India, pasca kecelakaan Juni lalu yang menewaskan 241 penumpang.
Singapore Airlines sendiri memiliki 25,1% saham di Air India setelah mergernya pada November 2024 dengan Vistara, yang dimiliki bersama oleh Tata Sons India. Kerugian Air India terjadi karena penurunan pendapatan bunga yang membebani kinerja.
Laba bersih Singapore Airlines tercatat 52 juta dollar Singapura (sekitar Rp 668,8 miliar) dibandingkan estimasi sejumlah analis 181,47 juta dollar Singapura. Laba bersih Singapore Airlines untuk semester I 2025 juga turun 67,8% dari tahun sebelumnya, menjadi 239 juta dolar Singapura.
Pendapatan bunga pada Q2 juga turun sebesar 42 juta dolar Singapura. Ini karena pemotongan suku bunga dan saldo kas yang lebih rendah dari pembayaran dividen dan pembayaran pinjaman.
"Meskipun menghadapi tantangan yang berkelanjutan, SIA Group tetap berkomitmen untuk bekerja sama dengan mitranya Tata Sons guna mendukung program transformasi multi-tahun Air India yang komprehensif," kata maskapai tersebut dalam sebuah pernyataan.
Mengutip CNBC International, yang melansir Bloomberg, Air India juga menjadi penghambat kinerja grup pada kuartal sebelumnya. Perusahaan meminta bantuan keuangan setidaknya 100 miliar rupee dari SIA dan Tata Sons, setelah kecelakaan pada bulan Juni.
"Dukungan keuangan apa pun, yang dialokasikan untuk peningkatan sistem dan kemampuan rekayasa serta pemeliharaan internal, akan proporsional dengan kepemilikan," Bloomberg melaporkan, dikutip CNBC International.
SIA memang telah memperluas kemitraan komersialnya. Perusahaan meluncurkan layanan codeshare baru dengan Vietnam Airlines pada bulan September, memperkuat kehadirannya di rute-rute Asia Tenggara.
Pada bulan Oktober, perusahaan memperluas usaha patungannya dengan Lufthansa Group. Ada pula dengan Brussels Airlines, yang meningkatkan rute antara Eropa dan kawasan Asia-Pasifik.
Maskapai tersebut menyatakan bahwa permintaan perjalanan udara tetap tangguh menjelang puncak kuartal ketiga. Namun, perusahaan memperingatkan bahwa tren kargo udara masih belum pasti di tengah perubahan kebijakan perdagangan dan volatilitas pasar.
"Industri penerbangan terus menghadapi tantangan dari ketegangan geopolitik, hambatan ekonomi makro, tekanan biaya inflasi, dan kendala rantai pasokan," kata SIA.
(sef/sef)