Internasional

Perang Saudara Paling Brutal Mendadak Gencatan Senjata, Kenapa?

luc, CNBC Indonesia
Jumat, 07/11/2025 07:00 WIB
Foto: Warga Sudan merayakan di jalan setelah tentara Sudan memperdalam kendalinya atas ibu kota Khartoum, dari Pasukan Dukungan Cepat (RSF), di Port Sudan, Sudan, 27 Maret 2025. (REUTERS/Ibrahim Mohammed Ishak)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) pada Kamis (6/11/2027) menyatakan kesediaannya menerima usulan gencatan senjata kemanusiaan yang diajukan oleh Amerika Serikat dan mitra-mitranya, di tengah meningkatnya kecaman internasional atas dugaan pembunuhan massal dan kekerasan brutal di Sudan.

Keputusan itu menandai potensi terobosan setelah lebih dari dua tahun pertempuran sengit dengan Angkatan Bersenjata Sudan (Sudanese Armed Forces/SAF).

Dalam pernyataan resminya, RSF mengatakan pihaknya menyetujui "gencatan senjata kemanusiaan" yang diusulkan oleh kelompok mediator yang dipimpin AS, dikenal sebagai "the Quad", yang juga mencakup Arab Saudi, Mesir, dan Uni Emirat Arab.


Langkah itu, menurut RSF, bertujuan untuk "menangani konsekuensi kemanusiaan yang sangat buruk dari perang serta meningkatkan perlindungan terhadap warga sipil."

Sebelumnya pada awal pekan, Penasihat Senior AS untuk Urusan Arab dan Afrika, Massad Boulos, mengungkapkan bahwa upaya menuju kesepakatan gencatan senjata telah menunjukkan kemajuan signifikan.

"Kami belum mencatat adanya keberatan awal dari kedua belah pihak. Sekarang kami fokus pada rincian teknis," ujarnya, sebagaimana dikutip oleh Sudan Tribune.

Sementara itu, menurut laporan Al Jazeera, rencana tersebut akan dimulai dengan gencatan senjata kemanusiaan selama 3 bulan yang diharapkan dapat membuka jalan menuju solusi politik jangka panjang, termasuk pembentukan pemerintahan sipil baru.

Namun, situasinya masih jauh dari pasti. SAF berulang kali menegaskan tekadnya untuk melanjutkan pertempuran dan menolak gagasan bahwa anggota RSF dapat diintegrasikan kembali ke dalam masyarakat Sudan.

Militer juga menolak keterlibatan Uni Emirat Arab dalam perundingan gencatan senjata dan menuntut RSF menarik diri dari seluruh kota yang telah mereka kuasai.

Sebelum pengumuman RSF, Kepala Angkatan Bersenjata Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, menyampaikan pidato keras yang menegaskan tekad militernya untuk terus berperang.

"Segera, kami akan membalas dendam atas mereka yang telah dibunuh dan disiksa ... di seluruh wilayah yang diserang oleh pemberontak," katanya dalam pidato yang disiarkan televisi pada Kamis pagi.

Langkah RSF menerima usulan gencatan senjata ini muncul hanya beberapa hari setelah kelompok tersebut menghadapi tuduhan serius terkait pembunuhan massal di kota El-Fasher, Darfur Utara, yang mereka rebut pada 26 Oktober setelah pengepungan selama 18 bulan.

Sejak pengambilalihan kota itu, lebih dari 70.000 orang dilaporkan mengungsi dari El-Fasher dan sekitarnya, menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Para saksi dan kelompok hak asasi manusia melaporkan terjadinya eksekusi singkat, kekerasan seksual, serta pembunuhan besar-besaran terhadap warga sipil.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan melaporkan "pembunuhan tragis terhadap lebih dari 460 pasien dan tenaga medis" di sebuah rumah sakit anak-anak selama perebutan kota tersebut.

Sementara itu, laporan terbaru dari Humanitarian Research Lab Universitas Yale pada Kamis menambah kekhawatiran global. Berdasarkan citra satelit terbaru, para peneliti mendeteksi aktivitas yang "konsisten dengan keberadaan kuburan massal" di El-Fasher.

"Laporan ini menemukan bukti yang konsisten dengan kegiatan pembuangan jenazah," tulis Yale HRL dalam laporannya. Penelitian itu mengidentifikasi "setidaknya dua gangguan tanah yang konsisten dengan kuburan massal di area masjid dan bekas Rumah Sakit Anak."

Laporan tersebut juga mencatat munculnya parit-parit panjang dan hilangnya kelompok objek yang sebelumnya tampak seperti tubuh manusia di sekitar rumah sakit, masjid, dan beberapa titik lain di kota. Temuan ini menunjukkan bahwa jenazah yang sebelumnya terlihat di area itu kemungkinan telah dipindahkan.

"Aktivitas pembuangan atau pemindahan jenazah juga terdeteksi di Rumah Sakit Al-Saudi melalui citra satelit," tulis laporan itu.

Baik SAF maupun RSF sebelumnya telah dituduh melakukan kejahatan perang. Dalam laporan Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada September lalu, kedua belah pihak disebut melakukan pembunuhan di luar hukum, serangan besar-besaran terhadap warga sipil, serta penyiksaan.

Laporan itu juga menyoroti "volume bukti yang luar biasa besar" terkait kekerasan seksual yang sebagian besar dilakukan oleh anggota RSF dan SAF.

 


(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Pemda Bisa Pinjam dari APBN-Arab Saudi Bangun Kereta Cepat