Internasional

Boikot Global Terhadap Israel Makin Meledak, Ini Dampaknya

tfa, CNBC Indonesia
Kamis, 30/10/2025 06:35 WIB
Foto: REUTERS/MOHAMED ABD EL GHANY
Dafar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Gelombang boikot terhadap Israel atas perlakuannya di Gaza kini mencapai titik tertinggi. Siaran langsung dugaan genosida di wilayah tersebut membangkitkan solidaritas global yang meluas, dengan jutaan orang turun ke jalan, universitas memutuskan hubungan dengan mitra Israel, hingga aplikasi boikot yang semakin populer di kalangan konsumen.

Menurut data Armed Conflict Location & Event Data Project (ACLED), dalam dua tahun terakhir terdapat sekitar 49.000 aksi pro-Palestina di 133 negara dan wilayah. Jumlah demonstrasi antara Mei hingga September 2025 naik 43% dibanding lima bulan sebelumnya. Negara dengan jumlah protes tertinggi antara lain Yaman (15.266), Maroko (5.482), Amerika Serikat (5.346), Turki (2.349), dan Iran (1.919).

Pendiri gerakan Boycott, Divestment, and Sanctions (BDS), Omar Barghouti, menyebut isolasi ekonomi dan politik Israel kini semakin terasa.


"Gerakan BDS telah memainkan peran paling penting dalam memperburuk isolasi rezim Israel yang terdiri dari kolonialisme pemukim, apartheid, dan sekarang genosida," kata Barghouti kepada Al Jazeera, dikutip Rabu (29/10/2025). Ia menambahkan, bahkan pejabat Israel sendiri mengakui tantangan akibat tekanan global.

Boikot ekonomi dan organisasi BDS menghadirkan tantangan besar, dan di beberapa negara kami terpaksa beroperasi di bawah radar," ujar Ketua Institut Ekspor Israel, Avi Balashnikov, dalam konferensi teknologi tahun lalu.

Konsumen Beralih ke Produk Lokal

Boikot terhadap produk dan merek yang terafiliasi dengan Israel kini meluas hingga level rumah tangga. Di Uni Emirat Arab, Sumayya Rashid, 45 tahun, menyebut keluarganya berhenti membeli produk dari jaringan cepat saji internasional.

"Kami tidak lagi membeli apa pun dari McDonald's, KFC, Pizza Hut, atau Carrefour. Kami beralih ke produk lokal," katanya.

Sementara di Kanada, Jaspreet Kaur, 26 tahun, mengaku berupaya memboikot produk-produk global yang dikaitkan dengan dukungan terhadap Israel.

"Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya makan di Starbucks atau McDonald's. Saya menggunakan aplikasi untuk memeriksa produk sebelum membeli," ujarnya.

Aplikasi seperti Boycat kini membantu konsumen mengidentifikasi produk yang masuk daftar boikot, bekerja sama dengan jaringan BDS untuk memperbarui daftar merek yang terlibat dalam kebijakan pendudukan Israel.

Dampak Ekonomi Mulai Terasa

Dampak dari gelombang boikot mulai dirasakan di sektor bisnis global. Pada November 2024, jaringan ritel Prancis Carrefour menutup seluruh tokonya di Yordania dan sejumlah negara Teluk seperti Kuwait, Oman, dan Bahrain, setelah dituding memiliki hubungan bisnis dengan perusahaan Israel di wilayah pendudukan.

Raksasa makanan cepat saji McDonald's dan jaringan kopi Starbucks juga melaporkan penurunan penjualan signifikan di Timur Tengah dan negara-negara mayoritas Muslim seperti Malaysia dan Indonesia. CEO McDonald's Chris Kempczinski bahkan menyebut dampak boikot sebagai "signifikan" dalam panggilan kinerja pada Januari 2024.

Starbucks mencatat penurunan pendapatan global sebesar 2% pada 2024 dan pada September lalu mengumumkan restrukturisasi senilai US$1 miliar (sekitar Rp16,6 triliun) dengan menutup puluhan gerai di AS dan merumahkan 900 karyawan.

Selain korporasi, tekanan juga muncul di tingkat pemerintah. Pada September 2025, Spanyol membatalkan kontrak senjata dengan Israel senilai 700 juta euro (sekitar Rp12,4 triliun) dan memberlakukan larangan perdagangan militer. Sejumlah dana pensiun di Norwegia, Prancis, Irlandia, Denmark, dan Belanda juga melakukan divestasi dari perusahaan yang terkait permukiman ilegal Israel, termasuk Caterpillar dan TripAdvisor.

Negara-negara seperti Australia, Kanada, Inggris, dan Norwegia turut menjatuhkan sanksi terhadap menteri sayap kanan Israel Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich atas tuduhan menghasut kekerasan terhadap warga Palestina.

Pengawasan PBB dan Tantangan ke Depan

Kantor HAM PBB sejak 2020 memantau 158 perusahaan yang beroperasi di permukiman ilegal Israel di Tepi Barat, termasuk nama-nama besar seperti Airbnb, Booking.com, Expedia, Motorola, dan TripAdvisor.

Meski hampir 90% perusahaan tersebut berbasis di Israel, daftar itu juga mencakup perusahaan asal Kanada, China, Prancis, Jerman, Belanda, dan AS.

Para analis menilai bahwa gerakan boikot kini bukan hanya bentuk solidaritas moral, tetapi sudah menjadi tekanan ekonomi dan diplomatik yang nyata terhadap Israel. Namun, efektivitas jangka panjangnya akan bergantung pada keberlanjutan gerakan dan sikap pemerintah serta institusi keuangan besar di dunia.


(tfa/tfa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Masa Depan Nikel Indonesia di Tengah Gejolak Harga Komoditas