Pemerintah Perlu Susun Roadmap IHT yang Komprehensif, Ini Alasannya!
Jakarta, CNBC Indonesia - Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya merekomendasikan agar pemerintah perlu Menyusun Roadmap (Peta Jalan) industri hasil tembakau (IHT) secara komprehensif, terukur, dan adaptif terhadap dinamika pasar.
Roadmap ini penting untuk memastikan arah kebijakan cukai, regulasi harga, pengawasan rokok ilegal, serta pengaturan rokok elektrik dan produk nikotin alternatif dapat berjalan secara terintegrasi dan berkelanjutan.
Hal itu dikemukakan ketua PPKE FEB UB, Prof. Candra Fajri Ananda dalam forum group discussion (FGD) bertajuk "Dinamika Regulasi dan Masa Depan Industri Hasil Tembakau di Indonesia" di Malang, Senin (20/10/2025).
Candra menegaskan bahwa Roadmap (Peta Jalan) perlu disusun secara kolaboratif bersama pemangku kepentingan, termasuk akademisi, dan pelaku industri, agar menghasilkan kebijakan yang berbasis bukti (evidence-based policy) dan memiliki daya dorong kuat terhadap transformasi IHT menuju sektor yang lebih berdaya saing dan berkeadilan.
"Rekomendasi itu didasarkan hasil kajian PPKE FEB UB yang menyoroti ketidakseimbangan kebijakan antara rokok tembakau konvensional, rokok ilegal, dan rokok elektrik yang memicu perubahan perilaku konsumsi masyarakat serta berdampak serius terhadap keberlangsungan industri kretek nasional," kata Candra.
Merujuk data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2023), volume produksi rokok mengalami penurunan signifikan, dari 348,1 miliar batang pada tahun 2015 menjadi 318,15 miliar batang pada tahun 2023.
"Penurunan tersebut menggambarkan tekanan besar yang dihadapi industri kretek, padahal sektor ini berperan penting sebagai penyokong perekonomian nasional sekaligus bagian dari identitas budaya bangsa," ujar Candra.
Di sisi lain, pola konsumsi masyarakat juga mengalami perubahan yang cukup signifikan. Rokok elektrik semakin digemari, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda. Lebih dari separuh pengguna rokok elektrik berada pada rentang usia 15-19 tahun, mencapai 56,5 persen dari total populasi pengguna. Fenomena ini menunjukkan bahwa generasi muda mulai menjadikan rokok elektrik sebagai bagian dari gaya hidup mereka.
"PPKE FEB UB mencatat bahwa tren ini menimbulkan kekhawatiran karena berpotensi melemahkan posisi industri kretek sekaligus menciptakan tantangan baru dalam aspek kesehatan Masyarakat," terang Candra.
Hasil kajian juga menyatakan bahwa kebijakan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang diterapkan hampir setiap tahun tidak memberikan dampak signifikan terhadap penurunan prevalensi merokok. Angka prevalensi tetap stagnan di kisaran 28-29 persen selama periode 2024-2025. Kenaikan harga justru mendorong konsumen beralih ke alternatif yang lebih murah, baik berupa rokok ilegal maupun rokok elektrik.
PPKE FEB UB juga menyoroti maraknya peredaran rokok ilegal yang semakin memperumit situasi. Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2023) menunjukkan peningkatan peredaran rokok ilegal dari 5,5 persen pada 2022 menjadi 6,9 persen pada 2023. Kondisi ini tidak hanya merugikan industri rokok legal, tetapi juga menurunkan potensi penerimaan negara dari sektor cukai.
Kajian PPKE FEB UB lebih lanjut menemukan bahwa kebijakan cukai dan harga rokok yang terus meningkat memang mendorong adanya pergeseran konsumsi masyarakat, terutama pada rokok illegal, sehingga perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas kebijakan fiskal di sektor hasil tembakau. Fenomena tersebut turut mendorong peningkatan konsumsi rokok ilegal, khususnya saat tarif cukai naik sementara kondisi ekonomi melemah.
Ketidakseimbangan regulasi (harga yang lebih murah, lemahnya pengawasan, dan kemudahan akses pembelian) antara rokok legal dan rokok illegal telah mendorong konsumen, terutama dari kelompok pendapatan rendah, untuk beralihke rokok ilegal yang lebih murah dan mudah diperoleh.
Pergeseran konsumsi ini berdampak langsung terhadap keberlangsungan industri kretek yang meliputi penurunan pembelian dan konsumsi harian rokok bercukai, penghentian pembelian rutin, perubahan norma sosial di lingkungan masyarakat, serta meningkatnya intensi konsumen untuk berhenti membeli rokok legal.
(dpu/dpu)