Zulhas Kenang Ekonomi RI Era Soeharto Meroket: Kita Macan Asia!
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) menilai sistem ekonomi Indonesia selama dua dekade terakhir terlalu liberal dan tak berpihak pada rakyat kecil. Ia menegaskan, setelah 24 tahun reformasi, arah ekonomi nasional justru dikuasai pemilik modal akibat persaingan bebas yang tak terkendali.
"Dalam 24 tahun kita reformasi ini semua bebas. Semua terbuka, persaingan bebas. Tentu kalau persaingan bebas, maka pemilik modal lah yang akan mengendalikan," ujar Zulhas dalam acara Town Hall Meeting Satu Tahun Kemenko Pangan di Auditorium Graha Mandiri, Jakarta, Selasa (21/10/2025).
Zulhas menyebut, kondisi tersebut membuat kesenjangan ekonomi semakin lebar dan pelaku usaha kecil makin sulit berkembang. Ia menilai perusahaan besar kini justru bersaing dengan rakyat kecil, bukan memperkuat industri nasional.
"Perusahaan-perusahaan besar kita bersaingnya ke dalam. Yang besar bersaingnya sama emak-emak, sama petani. Itu tidak boleh. Itu usaha rakyat," tegasnya.
Menurut Zulhas, sistem ekonomi Indonesia perlu kembali ke semangat kebersamaan dan gotong royong seperti masa Orde Baru, ketika arah ekonomi masih berlandaskan Pancasila dan kesejahteraan rakyat.
"Saya kira inilah yang dilakukan, diluruskan kembali oleh Pak Prabowo. Karena kita ingin mengembalikan cita-cita Indonesia Merdeka itu. Ekonomi Pancasila, gotong royong, kebersamaan, negara mesti kuat, kesetaraan," tukas dia.
Zulhas memuji langkah Presiden Prabowo Subianto yang disebutnya tengah membenahi struktur ekonomi nasional agar negara kembali kuat dan berdaulat. Salah satu upayanya adalah membentuk lembaga Danantara, yang bertugas mengelola sumber daya strategis dan memperkuat hilirisasi.
"Oleh karena itu lahirlah Danantara, negara harus kuat. Yang tadi sumber daya dikuasai oleh namanya pasar bebas, tentu pemilik modal. Oleh karena itu lahirlah Danantara, diambil dulu sebagian itu. Itu Danantara untuk hilirisasi, negara mesti kuat," jelasnya.
Menurut Zulhas, langkah itu mengingatkan pada masa kejayaan Indonesia di era 1980-an, ketika negara mampu berdiri di atas kaki sendiri dan disegani dunia.
"Kalau dulu kita mampu membangun Krakatau Steel, bangun IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) dan lain-lain, kenapa tidak? Maka sebagian keuntungan mereka diambil untuk membangun hilirisasi, sehingga negara menjadi kuat," kata dia.
Zulhas kemudian mengenang masa sebelum reformasi, ketika Indonesia disebut sebagai "Macan Asia".
"Kalau kita lihat ya, mundur sejenak sebelum reformasi, Indonesia itu disebut macan Asia," sebutnya.
Ia menceritakan pengalamannya berdagang dengan China, Korea Selatan, Hong Kong, dan Taiwan pada 1980-an, saat Indonesia masih lebih maju dari negara-negara tersebut.
"Saya tahun 1984 itu sudah biasa berdagang dengan China, berdagang dengan Korea Selatan, Hongkong, Taiwan. Kita kalau datang ke China pada tahun 1984, 1985, 1986, itu kita disambut dengan hormat, karena kita dianggap bawa angpao pada waktu itu. Karena kita lebih tinggi (dari mereka)," kenangnya.
Menurutnya, kala itu Indonesia sudah punya fondasi industri yang kuat dan berorientasi nasional. "Kita sudah punya IPTN, kita mampu bikin pesawat terbang pada waktu itu. Kita sudah bisa bikin PT PAL kapal laut, kita punya Pindad, Bulog, Krakatau Steel, bahkan satelit Palapa. Pendek kata, pada waktu itu kita disebut macan Asia," tuturnya.
Namun, kemajuan itu tak berlanjut setelah reformasi. Ia menilai politik yang terlalu berorientasi pada kekuasaan jangka pendek membuat arah pembangunan kehilangan fokus.
"Politik kita setelah 28 tahun reformasi ini selalu jangka pendek. Bagaimana bertahan agar tidak jatuh, kemudian bisa terpilih kembali. Sedangkan mereka (negara lain) politik untuk jangka panjang untuk membangun negaranya," pungkas dia.
(wur)