Sebut-Sebut Danantara-Reformasi, Zulhas Bilang 24 Tahun RI Serba Bebas

Martyasari Rizky, CNBC Indonesia
Selasa, 21/10/2025 12:14 WIB
Foto: Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas) dalam acara Town Hall Meeting Satu Tahun Kemenko Pangan di Auditorium Graha Mandiri, Jakarta, Selasa (21/10/2025). (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) menyoroti kondisi Indonesia yang kini tertinggal jauh dari sejumlah negara Asia yang dulu justru berada di bawah Indonesia. Ia mengingat masa kejayaan sebelum era reformasi, ketika Indonesia disebut sebagai "Macan Asia".

"Kalau kita lihat ya, mundur sejenak sebelum reformasi, Indonesia itu disebut macan Asia," ujar Zulhas dalam acara Town Hall Meeting Satu Tahun Kemenko Pangan di Auditorium Graha Mandiri, Jakarta, Selasa (21/10/2025).

Zulhas mengenang masa tahun 1980-an, ketika Indonesia masih menjadi negara yang disegani di kawasan Asia.


"Saya tahun 1984 itu sudah biasa berdagang dengan China, berdagang dengan Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan. Kita kalau datang ke China pada tahun 1984, 1985, 1986, itu kita disambut dengan hormat, karena kita dianggap bawa angpao pada waktu itu. Karena kita lebih tinggi (dari mereka)," ujarnya.

Dia menuturkan, pada masa itu Indonesia bahkan mampu melampaui negara-negara tersebut dari segi kemampuan industri dan teknologi.

"Kita sudah punya IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara), kita mampu bikin pesawat terbang pada waktu itu. Kita sudah bisa bikin PT PAL kapal laut, kita punya Pindad, kita punya Bulog, kita punya Krakatau Steel, kita juga pada waktu itu sudah punya satelit Palapa. Pendek kata, pada waktu itu kita disebut Macan Asia," tutur Zulhas.

Namun, katanya, kemajuan itu tak berlanjut secara konsisten. Kini Indonesia justru tertinggal jauh dari negara-negara yang dulu sejajar tersebut.

Politik Jangka Pendek Jadi Biang Kerok?

Menurut Zulhas, penyebab utama keterlambatan ini adalah arah politik yang terlalu berorientasi jangka pendek.

"Politik kita setelah 28 tahun reformasi ini selalu jangka pendek. Bagaimana bertahan agar tidak jatuh, kemudian bisa terpilih kembali. Sedangkan mereka politik untuk jangka panjang untuk membangun negaranya," jelasnya.

Selain itu, ia menilai sektor swasta di Indonesia tidak berkembang seperti di negara lain. Jika negara lain perusahaan-perusahaan besarnya bersaing ke luar negeri atau menjadi perusahaan dunia, berbeda dengan Indonesia.

"Perusahaan-perusahaan besar kita bersaingnya ke dalam. Yang besar bersaingnya sama emak-emak, sama petani. Itu tidak boleh. Itu usaha rakyat," tegasnya.

Zulhas mengingat, di masa awal reformasi, sistem ekonomi rakyat masih diatur agar adil. "Bahkan awal-awal perkebunan sawit itu ada inti plasma. Saya ingat itu. 20 inti, 80 plasma. Di akhir baru berubah. Jadi ditata," katanya.

Namun kini, setelah dua dekade lebih reformasi, menurutnya semua berjalan tanpa arah. "Dalam 24 tahun kita reformasi ini semua bebas. Semua terbuka, persaingan bebas. Tentu kalau persaingan bebas, maka pemilik modal lah yang akan mengendalikan," tukas dia.

Ia memuji langkah pemerintahan Prabowo yang disebutnya berupaya meluruskan arah pembangunan ekonomi nasional.

"Saya kira inilah yang dilakukan, diluruskan kembali oleh Pak Prabowo. Karena kita ingin mengembalikan cita-cita Indonesia Merdeka itu. Ekonomi Pancasila, gotong royong, kebersamaan, negara mesti kuat, kesetaraan," ungkapnya.

Tujuan Lahirnya Danantara Menurut Zulhas

Menurut Zulhas, visi ekonomi yang diusung Prabowo sejalan dengan semangat membangun kembali kekuatan negara, salah satunya lewat pembentukan Danantara.

"Oleh karena itu lahirlah Danantara, negara harus kuat. Yang tadi sumber daya dikuasai oleh namanya pasar bebas, tentu pemilik modal. Oleh karena itu lahirlah Danantara, diambil dulu sebagian itu. Itu Danantara untuk hilirisasi, negara mesti kuat," jelasnya.

Zulhas menegaskan, kebijakan ini terhubung dengan semangat masa lalu ketika Indonesia mampu berdiri di atas kaki sendiri.

"Kalau dulu kita mampu membangun Krakatau Steel, bangun IPTN dan lain-lain, kenapa tidak? Maka sebagian keuntungan mereka diambil untuk membangun hilirisasi, sehingga negara menjadi kuat," ujarnya.

Ia juga menyinggung soal kualitas sumber daya manusia yang kini tertinggal. Zulhas menyebut hal itu bisa dilihat dari perbandingan nyata antara Indonesia dan negara lain.

"Kalau dulu 1984, 1985, kita tinggi (badannya) dengan China, Korea Selatan, kita ini sama pak, sama tingginya, jadi nggak jauh beda. Tapi kalau sekarang ketemu dengan teman-teman kita yang dari China, dari Korea Selatan, sudah jauh pak. Tingginya sudah jarang yang setinggi saya, sudah jarang," kata dia.

Perbedaan tersebut, ujarnya, disebabkan oleh gizi yang lebih baik di negara lain. "Karena gizinya cukup. IQ mereka rata-rata di atas 120," sebut Zulhas.

"Nah kalau di kita, saya dalam satu pertemuan, di satu kecamatan dengan kira-kira 1.000-2.000 masyarakat. Kita diskusi, para petani, kalau kita bertanya kepada mereka, anakmu 3, atau anakmu 2, anakmu 4, coba hitung berapa keperluan kamu agar bisa sekolah anakmu, bisa cukup, bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rata-rata, di desa, kecamatan itu, orang tua tidak mampu menghitung. Mereka hanya bisa, ini kerjaannya, ini upahnya. Kenapa? Karena IQ rata-rata 70-80," ungkapnya.

Dari situ, Zulhas menilai pentingnya memastikan rakyat mendapat hak dasar seperti gizi dan kesehatan yang layak.

"Oleh karena itu, hak dasar warga negara adalah sehat, gizinya cukup, kemampuannya bagus, sumber daya unggul. Oleh karena itu lahirlah makanan bergizi gratis," pungkasnya.


(dce)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Menko Zulhas Klaim Produksi Pangan Nasional Meningkat