Sering Disalahpahami, Begini Penjelasan Soal Tarif INA-CBG

Elga Nurmutia, CNBC Indonesia
20 October 2025 15:28
Dok BPJS Kesehatan
Foto: Dok BPJS Kesehatan

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam sistem jaminan kesehatan, metode pembayaran fasilitas kesehatan (faskes) menjadi salah satu faktor penting yang memengaruhi mutu layanan dan efektivitas pembiayaan. Di Indonesia, Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan telah menerapkan sistem pembayaran ke faskes yaitu dengan kapitasi dan Indonesia Case Based Group (INA-CBG).

Ketua Umum Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany menjelaskan, sebelum ada Program JKN, sebagian besar rumah sakit di Indonesia menggunakan sistem fee for service, yaitu metode pembayaran di mana biaya pelayanan ditetapkan setelah pasien menerima layanan kesehatan.

"Jika hal tersebut diterapkan dalam Program JKN tentu tidak akan efektif dan efisien," ujar Hasbullah dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (20/10/2025).

Dia menjelaskan sebelumnya tidak ada standar tarif menyebabkan ketidakpastian biaya bagi pasien. Setiap fasilitas kesehatan bisa menerapkan tarif berbeda, sehingga masyarakat sulit memprediksi besarnya biaya yang harus mereka tanggung.

"Pasien tidak pernah tahu apakah benar mereka membutuhkan layanan kesehatan tersebut atau tidak. Untuk itu pemerintah menerapkan kapitasi dan INA-CBG, tujuannya untuk melindungi pasien supaya tidak diberikan pelayanan yang sebetulnya tidak perlu. Kedua sistem menerapkan tarif yang sejatinya harus dihitung secara rasional," kata dia.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan JKN, disebutkan bahwa kapitasi adalah sistem pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang dilakukan di muka secara bulanan oleh BPJS Kesehatan. Besarannya dihitung berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa mempertimbangkan jenis maupun jumlah layanan yang diberikan.

Sedangkan INA-CBG adalah skema pembayaran berbasis kelompok diagnosis untuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) seperti rumah sakit. Dalam sistem ini, BPJS Kesehatan membayar biaya pelayanan kesehatan berdasarkan paket-paket yang telah ditentukan sebelumnya, tergantung pada diagnosis penyakit dan prosedur medis yang dilakukan.

"Jika diibaratkan seperti makan di restoran, sistem fee for service itu seperti pesan menu satu per satu (à la carte), sedangkan INA-CBG seperti sistem buffet. Kita bayar satu harga untuk satu paket lengkap. Jadi, bukan berarti tarif INA-CBG lebih murah, tapi sudah mewakili biaya rata-rata dari seluruh rangkaian layanan medis yang dibutuhkan pasien," ungkap dia.

Di samping itu, Hasbullah turut menyikapi anggapan bahwa pelayanan INA-CBG memiliki plafon atau batas biaya tertentu, pasien dipulangkan dengan alasan tersebut. Padahal menurutnya tidak ada istilah plafon.

"Istilah plafon tentu tidak betul. Ibaratnya seperti sistem buffet di restoran, setiap orang dapat mengambil makanan sesuai kebutuhannya, ada yang porsinya lebih banyak, ada yang lebih sedikit," tutur dia

Dia melanjutkan, begitu pula dengan INA-CBG, tarifnya sama, namun pelayanan medis yang diberikan tetap disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pasien. Untuk itu, BPJS Kesehatan menanggung biaya pelayanan peserta hingga sembuh sesuai indikasi medisnya, bukan dibatasi oleh plafon.

Alhasil, penetapan tarif dalam setiap paket INA-CBG selain biaya medis seperti obat dan alat kesehatan, juga sudah mempertimbangkan jasa medis tenaga kesehatan, sampai hal-hal yang sifatnya administratif. Sementara itu, Kepala Pusat Pembiayaan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Ahmad Irsan A Moeis mengungkapkan, di tahun ke-12 Program JKN sudah memiliki basis epidemiologi yang lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Ke depan INA-CBG akan dikembangkan menjadi i-DRG dan diharapkan tarifnya akan lebih rasional.

"Tentu tarif ini akan dievaluasi, disesuaikan dengan basis data epidemiologi yang baru, kita akan ubah pengelompokannya dan tentunya akan ada tarif baru dalam i-DRG ke depan yang lebih rasional. Dalam penghitungan setiap kelompok didasarkan minimal 200 kasus yang terdiri resource dan penanganan klinis yang relatif sama, nah itu yang akan kita hitung secara rasional sehingga tidak ada lagi isu tarif over ataupun under," tambah Irsan.

Proses penetapan tarif INA-CBG melibatkan banyak pihak, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, DJSN, asosiasi profesi, asosiasi fasilitas kesehatan, akademisi, praktisi, pakar, serta BPJS Kesehatan, termasuk benchmark ke negara lain. Pendekatan multipihak ini memastikan bahwa tarif yang ditetapkan mencerminkan kondisi riil di lapangan. Sebagai bentuk penyesuaian dan respons terhadap masukan para pemangku kepentingan, pada tahun 2023 pemerintah telah melakukan penyesuaian atau kenaikan tarif INA-CBG.

Jika Dikelola dengan Baik, INA-CBG Jadi Win-Win untuk Semua

Menanggapi anggapan yang menilai tarif paket INA-CBG belum mencukupi kebutuhan biaya pelayanan di rumah sakit, Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) drg. Iing Ichsan Hanafi menegaskan bahwa sistem pembayaran berbasis kasus tersebut sejatinya telah berjalan baik dan terus disempurnakan bersama pemerintah serta BPJS Kesehatan.

Menurutnya, rumah sakit berkomitmen menjalankan sistem ini secara optimal dan transparan tanpa praktik kecurangan, karena pendapatan rumah sakit kini sebagian besar bersumber dari klaim INA-CBG.

"Sistem INA-CBG sudah menjadi mekanisme yang diterima dan dipahami dengan baik di kalangan fasilitas kesehatan. Mayoritas pasien di rumah sakit swasta saat ini adalah peserta BPJS Kesehatan. Oleh karena itu, revenue rumah sakit sangat bergantung pada klaim INA-CBG," ujar Ichsan.

Lebih lanjut, dia menambahkan, rumah sakit berkomitmen untuk menjalankan sistem ini dengan benar dan transparan. Pekerjaan rumah manajemen rumah sakit agar berperan aktif dalam mengatur distribusi pendapatan klaim INA-CBG secara proporsional, khususnya kepada tenaga medis dan tenaga pendukung di lapangan. Dengan pengelolaan yang transparan dan adil, potensi keluhan terkait pembagian insentif dapat diminimalisir, sehingga seluruh pihak tetap termotivasi menjaga mutu layanan.

"Teman-teman rumah sakit berusaha seoptimal mungkin agar koding diagnosis dan tindakan sesuai aturan, tanpa melakukan fraud. Kami ingin tarif ini bisa berjalan baik karena ini menyangkut keberlangsungan layanan bagi masyarakat," tandas dia.


(rah/rah)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gokil! BPJS Kesehatan Sudah Gelontorkan Rp1.087,4 T untuk Layanan JKN

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular