Menanti Gebrakan Baru Purbaya: Berani Turunkan PPN Jadi 8%?

Arrijal Rachman , CNBC Indonesia
16 October 2025 07:55
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan pemaparan dalam program Squawk Box CNBC Indonesia di Jakarta, Jumat (10/10/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Menteri Keuangan Republik Indonesia, Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan pemaparan dalam program Squawk Box CNBC Indonesia di Jakarta, Jumat (10/10/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa punya rencana besar untuk mendorong daya beli masyarakat. Ia berencana menurunkan pajak atas transaksi atau yang biasa dikenal pajak pertambahan nilai (PPN).

"Nanti kita lihat bisa enggak kita turunkan PPN itu untuk mendorong daya beli masyarakat ke depan," kata Purbaya saat konferensi pers APBN edisi September 2025, dikutip Kamis (16/10/2025).

Sebelum sampai ke situ, Purbaya memastikan akan memperhitungkan secara cermat kondisi perekonomian secara detail, termasuk kesehatan fiskal pemerintah dalam memperkuat penerimaan negara hingga akhir tahun nanti.

Saat ini, ia mengaku belum melihat kapasitas fiskal bisa membuatnya percaya diri memangkas tarif PPN. Setoran pajak per akhir September 2025 saja masih mengalami kontraksi sebesar 4,4% dibanding periode yang sama tahun lalu menjadi Rp 1.295,3 triliun.

Melorotnya penerimaan pajak itu dipicu dua komponen utamanya, yaitu pajak penghasilan (PPh) Badan, serta PPN dan PPnBM, mengalami tekanan. Setoran PPh Badan minus 9,4% secara tahunan menjadi sebesar Rp 215,10 triliun, PPN dan PPNnBM kontraksi lebih besar, 13,2 menjadi Rp 474,44 triliun.

"Jadi saya harus hati-hati, jangan sampai saya turunin atau berantakan semuanya. Nanti defisitnya di atas 3%, jadi kita harus balance timbang-timbang dengan mana yang paling baik," paparnya.

Meski begitu, banyak pihak mendukung Purbaya memangkas tarif PPN itu, karena menganggap tekanan daya beli masyarakat kini memang masih terus terjadi, membuat laju konsumsi masyarakat tak kunjung optimal mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta W. Kamdani mengatakan, konsumsi rumah tangga masih menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan kontribusi lebih dari 54% terhadap PDB. Namun, dalam beberapa bulan terakhir ia mengatakan indikator konsumsi justru masih melemah.

Berdasarkan data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), Shinta mengatakan, optimisme konsumen terus turun. Dari angka indeks Juli 2025 di level 121,1 menjadi 117,2 per Agustus 2025, dan berlanjut pelemahannya pada September 2025 menjadi 115.

"Serta penjualan ritel di berbagai sektor masih mengalami kontraksi ataupun perlambatan," tegas Shinta.

Data IKK per Agustus 2025 saja ia sebut telah memberikan gambaran lebih rinci: keyakinan konsumen terhadap kondisi penghasilan turun 2,4 poin menjadi 116,9.

Koreksi ini ia sebut beriringan dengan penurunan pada komponen pembelian barang tahan lama sebesar 1,5 poin ke 105,1 yang menandakan kecenderungan konsumen menunda konsumsi besar di tengah ketidakpastian ekonomi.

Penjualan kendaraan baik grosir maupun eceran pada semester pertama Shinta tegaskan juga masih terkontraksi, masing-masing sebesar minus 8,6% dan minus 9,7%.

Sementara itu, penjualan ritel Agustus 2025 menunjukkan pertumbuhan ritel nasional melambat ke 3,5% yoy dari 4,7% pada Juli, dengan kontraksi tajam di kategori peralatan informasi & komunikasi (-28,9%) serta perlengkapan rumah tangga (-1,8%).

"Dalam konteks ini, wacana kebijakan penurunan tarif PPN tentu relevan sebagai salah satu instrumen untuk meringankan beban masyarakat dan merangsang permintaan/konsumsi," tegas Shinta.

Cara pandang serupa turut disampaikan politikus di parlemen. Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menjadi salah satu anggota dewan yang konsisten mendorong pemerintah menurunkan tarif PPN, karena daya beli masyarakat saat ini memang belum optimal.

Saat pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12% dari 11% pada Januari 2025, Misbakhun bahkan menjadi salah satu penentangnya. Setelah mendapat penolakan besar dari masyarakat, akhirnya pemerintah memutuskan menaikkan tarif PPN ke level 12% hanya untuk barang mewah.

"Saya yang waktu itu mengingatkan supaya (kenaikan) PPN ini ditahan benar," kata Misbakhun dikutip dari keterangan tertulis.

Menurut Misbakhun, di tengah besarnya tekanan daya beli masyarakat saat ini, pemerintah bahkan baiknya menurunkan tarif PPN menjadi sebesar 8%.

"Kalau perlu PPN kita turunkan kembali ke 10% dan kalau perlu ke 8%. Untuk apa? Mengangkat daya beli masyarakat. Nah ini dalam rangka apa? Seperti yang disampaikan, kita menghadapi tekanan di daya beli," ucap politikus Partai Golkar itu.

Tarif PPN sejak 2022 silam memang cenderung terus naik. Seusai ditetapkannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN pada 2022 naik dari yang selama ini di kisaran 10%, menjadi 11%. Lalu berlanjut pada 2025 menjadi 12%.

Namun, karena gejolak penolakan masyarakat terhadap keputusan yang ditetapkan dalam UU HPP itu, tarif PPN yang naik pada 2025 hanya khusus barang mewah. Sisanya, tetap diberlakukan besaran tarif 11% hingga saat ini karena dengan menerapkan kebijakan dasar pengenaan pajak atau DPP 11/12 terhadap tarif PPN.

Tapi, penting dicatat, dalam Pasal 7 ayat 3 UU HPP, selain mengatur batas atas tarif PPN yang paling tinggi sebesar 15%, sebetulnya juga diatur batas bawa tarif PPN yang membuka ruang penurunan tarif ke level terendahnya, yakni 5%. Hal ini lah yang memberi ruang Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menurunkan tarif PPN nantinya.

Kendati UU membuka ruang bagi Purbaya untuk menurunkan tarif PPN hingga ke level 8%, Head of Center Macroeconomics and Finance INDEF M. Rizal Taufikurahman menilai struktur APBN saat ini belum memiliki ruang yang luas untuk stimulus konsumsi yang sangat besar itu.

"Realitasnya, per September 2025 pendapatan negara turun sekitar 7,2% YoY, dengan tekanan terbesar berasal dari sektor pajak dan restitusi komoditas," ujar Rizal kepada CNBC Indonesia.

Dari sisi ekonomi Rizal menilai penurunan PPN dapat meringankan tekanan harga dan memperkuat daya beli masyarakat kelas menengah bawah, terutama pada barang-barang kebutuhan pokok yang kontribusinya besar terhadap inflasi inti.

Namun dari sisi fiskal, langkah ini berpotensi menggerus penerimaan pajak dalam jangka pendek, sebab elastisitas konsumsi terhadap perubahan tarif PPN di Indonesia relatif rendah. Artinya, tambahan volume konsumsi tidak secara otomatis mampu menutup kehilangan penerimaan dari penurunan tarif.

"Jika tidak diimbangi dengan perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan, dan efisiensi belanja K/L, kebijakan ini justru mendorong pelebaran defisit dan mempersempit ruang fiskal tahun depan," ujarnya.

Jika penurunan PPN diberlakukan, Rizal menilai dalam jangka pendek efeknya mungkin positif untuk menahan pelemahan konsumsi rumah tangga, yang kini menjadi satu-satunya penopang pertumbuhan PDB.

Namun dalam jangka panjang, jika kebijakan dilakukan tanpa perbaikan struktur penerimaan, maka akan menimbulkan scarring effect fiscal yakni hilangnya potensi penerimaan struktural karena tarif yang lebih rendah menjadi baseline baru.

"Sementara kebutuhan belanja (terutama subsidi energi, gaji ASN, dan MBG) cenderung meningkat. Dengan kata lain, kebijakan ini berisiko menggeser struktur APBN menjadi semakin pro-konsumsi namun kurang berkelanjutan secara fiskal," ujarnya.

Pernyataan serupa disampaikan Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet. Ia menekankan, penurunan tarif PPN sebetulnya pernah dilakukan oleh negara lain. Seperti Vietnam yang menurunkan tarif PPN dari 10% menjadi 8% untuk menggerakkan kembali perekonomian pasca Pandemi COVID-19.

"Namun di sisi lain, langkah ini tentu menimbulkan risiko penurunan penerimaan negara dalam jangka pendek, mengingat PPN merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap pendapatan pajak nasional," ujar Yusuf kepada CNBC Indonesia, Rabu (15/10/2025).

Maka dari itu, Yusuf menilai dalam jangka pendek, kebijakan ini berpotensi meningkatkan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi, meskipun ada risiko penurunan penerimaan fiskal. Sementara dalam jangka panjang, keberlanjutan fiskal perlu dijaga agar stimulus yang diberikan tidak berbalik menjadi beban fiskal baru.

Untuk mencegah peningkatan beban fiskal dalam jangka panjang pemerintah juga dapat menyesuaikan pos belanja, terutama pada sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan daya beli masyarakat seperti subsidi pangan, bantuan sosial, dan dukungan bagi UMKM.

"Dengan pengelolaan belanja yang lebih efisien, dampak fiskal dari penurunan PPN dapat diminimalkan tanpa mengorbankan kualitas belanja publik. Dengan demikian, penurunan PPN bisa menjadi langkah strategis bila diiringi desain kebijakan yang terukur dan terintegrasi," ujarnya.


(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kantong Warga RI Sekarat, Ekonom Sarankan PPN Turun Jadi 8%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular