Trump Jatuhkan 'Bom' Baru, Pengusaha Furnitur RI Langsung Siap-Siap
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara mendadak mengumumkan pemberlakuan tarif baru untuk bea masuk (BM) atas impor furnitur, kabinet dapur, dan produk kayu mulai hari ini, Selasa (14/10/2025).
Kebijakan sektoral ini mencakup tarif 10% untuk kayu gergajian lunak (softwood lumber), serta tarif awal 25% untuk furnitur berlapis kain dan kabinet dapur. Lalu, mulai 1 Januari tahun depan, beban pajak akan melonjak tajam. Furnitur berlapis kain dikenai tarif 30%, sementara kabinet dapur dan meja rias (vanity) akan melonjak hingga 50%.
Dalam kebijakannya itu, Trump mengenakan tarif untuk produk kayu asal Inggris dibatasi maksimal 10%, sedangkan produk dari Uni Eropa (UE) dan Jepang dikenai batas hingga 15%. Ketiga mitra dagang itu dilaporkan telah mencapai kesepakatan dengan pemerintahan Trump untuk menghindari tarif yang lebih berat.
Langkah Trump ini tentu akan memukul industri furnitur dan produk kayu di Tanah Air. Sebab, jika mengutip catatan Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), AS adalah pasa rutama furnitur kayu Indonesia. Misalnya, untuk HS 940360 (wooden furniture, nes) nilai ekspor RI ke AS tercatat berkisar US$383 juta di tahun 2023.
Dengan dikenai tarif impor terbaru, produk-produk kayu-furnitur Indonesia akan mengalami lonjakan harga di pasar AS. Artinya, menurut HIMKI, data saing produk Indonesia akan tergerus.
Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur mengatakan, tarif sektoral tinggi yang baru diketok Trump itu tidak langsung berdampak pada penurunan ekspor furnitur dan produk kayu Indonesia.
Namun, akan menggerus marjin, yang jika berlarut-larut bukan tidak mungkin akan memaksa industri di dalam negeri memangkas produksi, lalu tutup sementara dan PHK.
"Sebenarnya dengan desain yang kita punya tidak perlu khawatir dengan persaingan ketat kita masuk market dengan segmen kelas menengah atas," kata Sobur kepada CNBC Indonesia, Selasa (14/10/2025).
Karena itu, dia menyarankan produsen produk kayu-furnitur Indonesia harus melakukan penyesuaian desain, material, atau model bisnis. Penyesuaian ini dimaksud untuk menekan atau efisiensi biaya, tanpa merusak kualitas produk Indonesia.
"Penyesuaian itu adalah alih portofolio, rekayasa bahan baku. Artinya, ada penyesuaian bahan baku ke harga yang lebih murah tanpa merusak kualitas. Dengan begitu, harga jualnya di AS, dengan adanya tarif tinggi, tetap bisa terjual atau diserap pasar," paparnya.
"Sebab, dengan tarif naik, harga otomatis akan naik di sana. Sementara, daya beli di sana juga sedang tertekan. Dengan penyesuaian ini, produk RI tetap bisa terjual, diserap pasar," terangnya.
Penyesuaian ini, sambung Sobur, untuk tetap dapat menangkap peluang di AS di tengah tekanan tarif impor yang tinggi.
Langkah ini, ujarnya, terutama strategis untuk barang-barang yang sensitif harga. Sedangkan untuk produk-produk yang menyasar kelas atas AS, kata dia, tidak ada masalah karena orang kaya AS tidak peduli dengan harga.
"Kebijakan tarif terbaru AS tidak langsung menutup pintu ekspor Indonesia, tetapi menaikkan 'harga tiket masuk' untuk upholstery dan kabinet-bahkan sampai 30-50% awal tahun depan. Strategi kami: alih portofolio produk, rekayasa biaya
& material, opsi perakitan bermakna di AS, dan diversifikasi pasar," kata Sobur.
"Dengan langkah ini, industri kita tetap bisa bertahan dan beradaptasi sambil menunggu kepastian negosiasi dagang berikutnya," tambahnya.
Hanya saja, Sobur tak menampik, skenario terburuk dampak kebijakan Trump ini bisa memicu tutupnya industri-industri di dalam negeri.
"Kalau misal penyesuaian-penyesuaian tadi tidak berhasil juga, tekanan daya beli di AS terus berlanjut, masalah perang dagang ini berlarut-larut, ya efeknya akan memicu produksi berhenti sementara. PHK dan tutup pabrik. Tapi, itu tidak langsung," kata Sobur.
(dce/dce)