Ramai-Ramai Restoran China Eksodus ke Tetangga RI, Ada Apa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah rekor restoran dan kafe China telah membanjiri Singapura selama setahun terakhir, menggunakan pulau itu sebagai test bed untuk ekspansi global mereka. Ekspansi ini didorong oleh lemahnya permintaan konsumen, persaingan harga yang ekstrem, dan margin keuntungan yang sangat tertekan di pasar domestik China.
Di antara nama-nama besar yang merambah pasar internasional pascapandemi adalah perusahaan kopi terkemuka Luckin Coffee dan raksasa bubble tea Mixue, serta operator restoran hotpot dan mala. Mereka berharap dapat memanfaatkan daya tarik Singapura sebagai negara-kota yang berorientasi internasional.
"Sangat sulit untuk beroperasi di China sekarang, begitu banyak merek memilih untuk berekspansi ke luar negeri," kata Josie Zhou, manajer umum luar negeri restoran masakan Hunan Nong Geng Ji, yang memilih Singapura untuk tahap pertama dorongan globalnya, kepada Reuters.
Secara budaya, Singapura telah lama bertindak sebagai batu loncatan bagi perusahaan China. Dengan populasi 6,1 juta jiwa yang didominasi oleh etnis China, negara ini dianggap sebagai gerbang ideal antara budaya Timur dan Barat.
"Jika kami dapat membangun merek kami di Singapura, kesadaran merek dapat menyebar ke Malaysia dan Vietnam, bahkan Indonesia," kata Joanna Jia, manajer Singapura untuk rantai bubble tea ChaPanda.
Perusahaan China datang dengan model bisnis yang tangguh dan manajemen rantai pasokan yang efisien, yang membantu mereka bertahan di pasar domestik di mana rekor 3 juta restoran gulung tikur tahun lalu. Konsultan mencatat, sekitar 85 merek makanan dan minuman China beroperasi di sekitar 405 gerai di Singapura pada Agustus, lebih dari dua kali lipat dari 32 merek yang beroperasi dengan 184 gerai pada Juni tahun lalu.
Sebagai contoh investasi, restoran bintang Michelin Yong Fu dari Shanghai memasuki Singapura tahun lalu dengan investasi 10 juta dolar Singapura (Rp128,04 miliar), yang mencakup renovasi, sewa, staf, dan biaya operasional lainnya selama sekitar lima tahun. Setelah Singapura, Yong Fu berencana berekspansi ke London pada akhir tahun, kemudian New York dan Paris tahun depan.
Model bisnis China yang siap pakai ini, bagaimanapun, telah memicu kekhawatiran di kalangan bisnis lokal. Singapore Tenants United for Fairness, yang mewakili 700 pemilik bisnis, mengatakan perusahaan domestik berjuang untuk bersaing.
"Ketika UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dari China seringkali bahkan lebih besar dari perusahaan besar lokal kami, seharusnya jelas bahwa bisnis kecil kami tidak berada di arena bermain yang setara dengan pemain-pemain tersebut," kata asosiasi itu.
Faktor-faktor lain yang memperburuk situasi adalah investasi dari konglomerat besar China yang mendorong naik harga sewa, terutama di area padat di mana pasokan ruang komersial ketat. Selain itu, kritikus makanan KF Seetoh berpendapat bahwa serbuan restoran China "mengencerkan serat kuliner organik Singapura."
Namun, faktor-faktor tersebut diperkirakan tidak akan menghentikan perusahaan China meninggalkan perang harga yang menekan di pasar domestik mereka.
"Persaingan di sini akan semakin ketat," kata Zhou dari Nong Geng Ji.
(tps/luc)