Sebulan Purbaya Menjabat Menkeu, Ekonom Beri Masukan Ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Genap sebulan sudah Purbaya Yudhi Sadewa menjabat sebagai Menteri Keuangan sejak dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto pada 8 September 2025.
Dalam sebulan terakhir, sejumlah manuver fiskal telah dilakukan oleh Purbaya. Mulai dari pemberian stimulus untuk menjaga daya beli masyarakat, kebijakan pencairan dana Rp 200 triliun yang dititipkan di perbankan, hingga langkah-langkah kontroversial seperti tidak menaikkan cukai hasil tembakau tahun depan dan membatalkan pungutan pajak e-commerce
Sejumlah ekonom dari berbagai lembaga pun memberikan pandangan mereka terkait arah kebijakan dan gaya kepemimpinan Purbaya.
Institute for Development of Economics & Finance (INDEF)
Head of Center Macroeconomics and Finance INDEF M. Rizal Taufikurahman menilai gaya Purbaya dalam mengelola keuangan negara lebih ekspansif dibandingkan Menteri Keuangan sebelumnya, Sri Mulyani. Kendati demikian, dirinya menilai Purbaya belum memiliki peta jalan fiskal jangka menengah.
"Arah kebijakan masih bersifat normatif karena belum disertai peta jalan fiskal yang jelas. Fokusnya pada percepatan ekonomi memang positif, tetapi belum tampak strategi struktural untuk menjaga disiplin fiskal dan kesinambungan utang jangka menengah," ujar Rizal kepada CNBC Indonesia, Selasa (7/10/2025).
Menurutnya, belum ada strategi struktural untuk menjaga disiplin fiskal dan kesinambungan utang yang dimiliki Purbaya dalam upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi. Seperti salah satunya penempatan dana Rp 200 T kepada bank himbara dinilai belum memiliki mekanisme agar dana tersebut benar-benar mengalir ke sektor produktif.
"Kebijakan ini berpotensi mempercepat perputaran ekonomi jika bank menyalurkan kredit secara efektif. Namun tanpa pengawasan ketat, likuiditas hanya akan menumpuk di sistem keuangan tanpa efek berganda ke sektor riil," ujarnya.
Indonesia Strategic and Economic Action Institution
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai pendekatan Purbaya mencerminkan populisme fiskal dan keberpihakan politik terhadap Presiden yang terpilih. Selama ini, kebijakan fiskal yang diambil oleh Purbaya masih selaras dengan agenda Prabowo.
Kendati demikian, dari sisi struktural hal tersebut bukanlah masalah besar. Pasalnya posisi Purbaya sebagai Menteri Keuangan harus sejalan dengan visi misi Presiden Prabowo Subianto
"Toh Pak Purbaya memang anak buahnya Pak Prabowo, jadi bagaimanapun caranya Pak Purbaya harus "in line" dengan kepentingan politik dan ekonomi presiden. Catatan pentingnya, apakah akan efektif atau tidak dan apakah mengandung risiko atau tidak? Itu yang akan kita tunggu," ujar Ronny kepada CNBC Indonesia, Senin (7/10/2025).
Sejumlah kebijakan Purbaya seperti stimulus Rp 16,2 triliun untuk akhir tahun 2025, hingga tidak naiknya cukai hasil tembakau dinilai Ronny sebagai keputusan yang tepat.
Namun, keputusan Purbaya untuk menempatkan dana Rp 200 triliun di perbankan dinilai terlalu fokus menyenangkan bank pelat merah dibanding langsung menyentuh rakyat. Hal tersebut membuat Ronny menilai kebijakan Purbaya tidak mencerminkan dirinya sebagai Menteri Keuangan, namun sebagai manajer investasi.
"Hal ini bisa dipahami, mengingat Purbaya tak ingin kehilangan uangnya. Kalau dibelanjakan langsung untuk rakyat, dananya tak kembali. Tapi kalau ke bank, hitungannya adalah investasi pemerintah. Sehingga dalam konteks 200 T, Purbaya lebih mirip Manajer Investasi ketimbang Menkeu," ujarnya.
Center Of Reform On Economics (CORE)
Peneliti Center Of Reform On Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet pun juga menilai arah kebijakan yang dilakukan Purbaya masih cenderung normatif. Dari berbagai kebijakan yang muncul, stimulus 8+4+5 menurutnya menjadi langkah paling krusial.
Pasalnya dapat mendorong perekonomian melalui peningkatan aktivitas fiskal dan dukungan terhadap sektor riil.
Kendati demikian kebijakan Purbaya lainnya dinilai kurang tajam. Terutama dalam memastikan bahwa stimulus tersebut benar-benar tersalurkan ke sektor-sektor yang paling membutuhkan dan memberikan efek pengganda yang optimal.
"Kebijakan Purbaya untuk mencairkan dana sekitar Rp200 triliun sebenarnya bisa menjadi langkah positif untuk mempercepat perputaran ekonomi dan menurunkan cost of fund kredit perbankan. Hanya saja, tantangan utamanya terletak pada sisi permintaan karena pertumbuhan kredit belum signifikan dan tingkat undisbursed loan masih cukup tinggi," ujarnya.
Menurutnya apabila kinerja fiskal dan kebijakan Purbaya tetap seperti sebulan terakhir, yakni belum menunjukkan percepatan realisasi anggaran konsekuensinya terhadap APBN dan ekonomi tahun depan bisa cukup serius. APBN berpotensi tidak memberikan efek pengganda yang optimal terhadap perekonomian, dan kredibilitas fiskal dapat dipertanyakan.
"Terutama jika pemerintah pusat melakukan pemotongan atau penundaan anggaran di tengah kebutuhan stimulus yang tinggi," ujarnya.
Universitas Paramadina
Di sisi lain, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin pun juga menilai mengatakan Purbaya perlu memperhatikan strategi komunikasi yang dinilai terlalu spontan dan kerap memojokkan pihak lain.
"Pendekatan komunikasi Menkeu yang terlalu spontan dan sering memojokkan pihak lain, sebaiknya dikurangi," ujarnya.
Sementara dari segi kebijakan, Wijayanto mengapresiasi terdapat sejumlah kebijakan Purbaya Seperti penolakan terhadap wacana tax amnesty, keputusan tidak menaikkan cukai rokok untuk melindungi lapangan kerja dan menekan peredaran rokok ilegal serta upaya menagih pajak dari pengusaha yang belum patuh.
Kendati demikian, kebijakan seperti penggelontoran dana sebesar Rp 200 triliun dan menunda pemberlakuan pajak e-commerce dinilai Wijayanto kurang tepat.
Wijayanto menilai, Dari sisi beban bagi konsumen, nilai total PPH Final yang dibayarkan oleh UMKM yang bertransaksi melalui marketplace sebenarnya tidak banyak, hanya Rp 1-2 T, yang bisa dilempar ke konsumen. Tetapi, pajak ini penting untuk edukasi dan membudayakan kebiasaan disiplin membayar pajak.
Jika disiplin ini terbangun, ketika UMKM akhirnya tumbuh menjadi korporasi besar, mereka sudah mempunyai budaya taat pajak. Selain itu, persiapan hal ini sudah dilakukan secara cukup matang dan sudah sejak lama, dari UMKM sendiri pun sebenarnya tidak merasa keberatan.
"Saat PPH Final untuk UMKM yang bertransaksi lewat Marketplace dibatalkan, sementara yang berjualan offline tetap dikenai pajak tersebut, ini sesungguhnya melahirkan iklim yang tidak fair antara offline dan online," ujarnya.
(haa/haa)