
Mengenal PM Terpilih Jepang Sanae Takaichi: Murid Abe ke "Wanita Besi"

Daftar Isi
Jakarta, CNBC Indonesia - Panggung politik Jepang bersiap untuk menyambut era baru dengan terpilihnya Sanae Takaichi sebagai pemimpin Partai Demokrat Liberal (LDP) yang berkuasa. Kemenangannya pada hari Sabtu, membukakan jalan baginya untuk menjadi Perdana Menteri (PM) wanita pertama dalam sejarah Jepang.
Wanita berusia 64 tahun ini dikenal sebagai seorang politisi veteran dengan pandangan konservatif yang kuat. Takaichi sering kali menyamakan dirinya dengan mantan PM Inggris, Margaret Thatcher, dan merupakan anak didik dari mendiang PM Shinzo Abe, seorang tokoh yang sangat dihormatinya.
Pandangan politiknya yang tanpa kompromi dan seringkali kontroversial telah membentuk citranya di kancah politik domestik maupun internasional. "Tujuan saya adalah menjadi Wanita Besi," katanya kepada sekelompok anak sekolah selama kampanye terbarunya dikutip BBC News.
Profil Sanae Takaichi
Lahir di Nara, sebuah kota di pusat Jepang, Takaichi menempuh jalur yang tidak biasa dalam dunia politik Jepang yang seringkali didominasi oleh dinasti politik. Dengan latar belakang keluarga yang tidak memiliki koneksi politik-ibunya seorang perwira polisi dan ayahnya bekerja di sebuah perusahaan mobil-ia membangun karirnya dari bawah.
Masa mudanya diwarnai dengan minat pada musik heavy metal. Di mana ia menjadi seorang drummer, dan kegemarannya mengendarai sepeda motor.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Kobe, Takaichi mendapatkan pengalaman politik pertamanya di Amerika Serikat (AS) sebagai staf magang untuk mantan anggota Kongres Patricia Schroeder. Pengalaman ini membentuk pandangan awalnya tentang dunia politik sebelum ia kembali ke Jepang.
Ia kemudian pertama kali terpilih menjadi anggota Parlemen pada tahun 1993. Kariernya menanjak seiring kedekatannya dengan Shinzo Abe pada tahun 2000-an.
Sepanjang kariernya, Takaichi telah memegang berbagai posisi menteri yang strategis, termasuk Menteri Keamanan Ekonomi serta Menteri Dalam Negeri dan Komunikasi. Ia telah dua kali mencalonkan diri sebagai pemimpin LDP, yaitu pada tahun 2021 dan 2024, sebelum akhirnya berhasil meraih kemenangan pada tahun ini.
Kemenangannya dipandang sebagai konsolidasi kekuatan faksi konservatif di dalam partai pasca-Abe.
Kontroversi
Secara ideologis, Takaichi digambarkan sebagai seorang politisi garis keras, ultranasionalis, dan kritikus vokal terhadap China. Ia secara terbuka mengkritik upaya Beijing untuk menunjukkan dominasi militer dan ekonominya di kawasan.
Sebagai tanggapan, ia menyerukan penguatan kemampuan pertahanan Jepang dan merupakan pendukung setia kembalinya kebijakan "Abenomics". Ini merujuk kebijakan sang mendiang PM, sebuah platform yang mengandalkan suku bunga rendah dan belanja pemerintah yang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dalam kebijakan luar negeri, Takaichi mengusung pendekatan "Jepang Pertama (Japan First), yang menekankan pentingnya aliansi keamanan yang kuat dengan Amerika sambil tetap memprioritaskan kepentingan nasional Jepang. Sikapnya yang hawkish kemungkinan akan memengaruhi dinamika hubungan Tokyo dengan negara-negara tetangganya, terutama China dan Korea Selatan.
Di bidang sosial, pandangan Takaichi sangat konservatif. Ia menentang gagasan untuk mengizinkan pasangan suami istri memiliki nama keluarga yang berbeda, sebuah isu yang populer di kalangan masyarakat namun dianggapnya dapat merusak nilai-nilai keluarga tradisional.
Selain itu, ia juga menentang pernikahan sesama jenis dan suksesi tahta kekaisaran dari garis keturunan perempuan. Salah satu aspek yang paling sering menjadi sorotan dari profil Takaichi adalah pandangan revisionisnya terhadap sejarah masa perang Jepang.
Ia berpendapat bahwa kekejaman yang dilakukan oleh Jepang selama Perang Dunia II telah dibesar-besarkan. Pandangan ini diperkuat dengan kunjungannya yang rutin ke Kuil Yasukuni, sebuah monumen di Tokyo yang menghormati para pahlawan perang Jepang, termasuk penjahat perang Kelas A.
Selain kunjungannya ke Yasukuni, Takaichi juga pernah terlibat dalam kontroversi lain. Sebuah foto dirinya bersama dengan pemimpin partai neo-Nazi Jepang pernah beredar, meskipun ia menyangkal memiliki hubungan dengan individu tersebut.
Tak hanya itu, sebagai Menteri Komunikasi, ia pernah menyarankan bahwa lisensi stasiun televisi dapat dicabut jika mereka menyiarkan program yang dianggap bias secara politik. Pernyataannya ini sempat menuai kecaman sebagai upaya pembungkaman kebebasan berpendapat.
'Sanaenomics'
Di sisi ekonomi, Takaichi telah mengusulkan sebuah rencana yang disebut "Sanaenomics" yang berfokus pada kebijakan moneter yang ekspansif, belanja fiskal yang fleksibel, dan investasi besar-besaran dalam manajemen krisis dan pertumbuhan. Ia secara khusus menargetkan investasi di sektor-sektor strategis seperti kecerdasan buatan, semikonduktor, dan pertahanan.
Menurut laporan Nomura Securities yang dikutip Futuun.com, kerangka inti "Sanaenomics" terdiri dari tiga pilar, yang mengingatkan pada "tiga anak panah" dalam "Abenomics". Pilar pertama melibatkan penguatan kemampuan manajemen krisis nasional dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi.
Kedua, kebijakan fiskal ekspansif akan diterapkan. Ketiga, pemerintah akan secara eksplisit memikul tanggung jawab atas kebijakan moneter, sementara Bank of Japan akan tetap mempertahankan otonomi dalam memilih instrumen kebijakan tertentu.
Laporan tersebut mencatat bahwa meskipun kedua kerangka kerja tersebut memiliki kesamaan struktural, fokusnya berbeda. Abenomics memprioritaskan pelonggaran moneter yang agresif, sementara 'Sanaeconomics' tampaknya lebih terkonsentrasi pada ekspansi fiskal, khususnya menekankan 'langkah-langkah anti-inflasi', seperti meningkatkan subsidi kepada pemerintah daerah dan memperkenalkan kredit pajak yang dapat dikembalikan.
(tps/tps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Siapa Pengganti Ishiba? Ini Daftar Kandidat PM Jepang yang Baru
