Ekonomi Asia di "Gerbang Malapetaka", Tandanya Terlihat dari Pabrik
Jakarta, CNBC Indonesia - Aktivitas pabrik di sebagian besar negara ekonomi utama Asia menyusut sepanjang September. Kondisi ini menjadi cerminan perlambatan pertumbuhan di Amerika Serikat (AS) berikut dampak dari tarif yang diberlakukan oleh Presiden Donald Trump, yang menambah tekanan dari lemahnya permintaan China.
Tekanan pada para produsen menyoroti tantangan yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan di Asia dalam melindungi kawasan yang bergantung pada ekspor dari kebijakan perdagangan AS.
Negara-negara kuat di bidang ekspor seperti Jepang dan pusat teknologi global, Taiwan, melihat aktivitas manufaktur mereka menyusut pada bulan September, membuat bisnis di Asia yang sangat bergantung pada pasar AS berada dalam pijakan yang rapuh.
Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur Taiwan turun menjadi 46,8 bulan lalu dari 47,4 pada bulan Agustus. Survei swasta juga menunjukkan bahwa aktivitas pabrik menyusut di Filipina dan Malaysia.
Sementara itu, China, sebagai mesin utama ekonomi global, juga mengalami kontraksi aktivitas manufaktur selama 6 bulan berturut-turut, tertekan oleh konsumsi yang lemah dan tarif dari AS.
"Pembacaan PMI September untuk sebagian besar negara di Asia tetap lemah dan kami terus memperkirakan aktivitas manufaktur di kawasan ini akan kesulitan dalam waktu dekat," kata ekonom pasar negara berkembang di Capital Economics, Shivaan Tandon, sebagaimana dikutp dari Reuters, Rabu (1/10/2025).
Adapun PMI Manufaktur Jepang turun menjadi 48,5 pada September dari 49,7 pada Agustus, menyusut dengan laju tercepat dalam enam bulan terakhir karena penurunan tajam dalam output dan pesanan baru.
"Secara keseluruhan, data menunjukkan bahwa kecuali kita melihat perbaikan penting dalam permintaan di dalam dan luar negeri, kemungkinan sektor ini akan kesulitan untuk melihat banyak pertumbuhan dalam jangka pendek," kata Economics Associate Director di S&P Global Market Intelligence, Annabel Fiddes.
Berbeda dengan negara tetangganya, aktivitas pabrik Korea Selatan justru berekspansi untuk pertama kalinya dalam 8 bulan pada September, didukung oleh membaiknya permintaan dari luar negeri. PMI manufaktur di negara ekonomi terbesar keempat di Asia itu naik menjadi 50,7 pada September dari 48,3 pada Agustus.
Namun, prospek bagi para eksportir Korea Selatan bergantung pada negosiasi untuk meresmikan kesepakatan bulan Juli yang bertujuan mengurangi tarif AS atas impor Korea, termasuk mobil, menjadi 15% dari 25%.
Di sisi lain, ekspansi sektor manufaktur India kehilangan momentum pada September dan tergelincir ke laju terlemahnya dalam empat bulan. Hal ini menunjukkan bahwa tarif hukuman 50% dari Washington terhadap barang-barangnya mungkin mulai terasa dampaknya.
(luc/luc)