BPDLH Teken MoU dengan UNDP dengan Jamkrindo, Perkuat Pembiayaan Hijau
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) meneken nota kesepahaman (MoU) dengan United Nations Development Programme (UNDP) dan PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) pada program Smart Green ASEAN Cities (SGAC) di Jakarta pada Jumat (26/9/2025). Langkah ini ditujukan memperkuat ekosistem pembiayaan hijau di sektor pengelolaan sampah dengan pilot project dimulai dari Kabupaten Banyumas.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono menegaskan, Indonesia menghadapi kesenjangan besar dalam pembiayaan iklim. Untuk itu diperlukan juga kolaborasi antarsektor regional maupun global.
"Indonesia membutuhkan sekitar Rp470 triliun per tahun untuk pembiayaan iklim, sementara kemampuan APBN hanya Rp76 triliun. Artinya kita butuh sumber dana non-APBN," kata Diaz kepada media usai menyaksikan penandatangan MoU di kantor BPDLH.
Ia menyambut baik inisiatif BPDLH yang berhasil menggandeng mitra internasional seperti UNDP, United Nations Capital Development (UNCDF), hingga filantropi Norwegia. Menurutnya, kerja sama ini penting agar Indonesia bisa memanfaatkan berbagai sumber alternatif, mulai dari donor internasional, filantropi, hingga swasta, untuk memperkuat transisi menuju pembangunan rendah karbon.
Direktur Utama BPDLH, Joko Tri Haryanto menjelaskan, BPDLH sejak awal memang dibentuk untuk mengorkestrasi berbagai sumber pendanaan lingkungan. Menurutnya, masalah sampah sudah masuk status darurat.
"BPDLH mencoba mengorkestrasi berbagai mekanisme pendanaan, baik domestik maupun internasional, agar membentuk siklus ekosistem pendanaan yang berkelanjutan," ujarnya.
Ia bilang, BPDLH tidak ingin hanya menjadi penyalur dana untuk proyek jangka pendek, tetapi membangun sistem berkelanjutan. Untuk itu, ia berharap filosofi dasar BPDLH adalah membentuk satu siklus ekosistem pendanaan.
"Karena kalau ekosistem ini tidak bekerja, maka sumber pendanaan jadi tidak optimal," kata Joko menambahkan.
Joko juga menekankan pentingnya kerja sama dengan pihak lain seperti Jamkrindo melalui mekanisme penjaminannya. Hal ini dirancang untuk memastikan dana bergulir yang dikelola BPDLH bisa aman sekaligus menjangkau sektor yang sebelumnya sulit mengakses pembiayaan.
"Dana dari skema debt-for-nature swap dengan Jerman, misalnya, kita konversi jadi investasi lingkungan. Supaya aman, kita gandeng Jamkrindo untuk penjaminan. Harapannya dari sisi hulu dan hilir bisa bertemu dan membentuk ekosistem," jelasnya.
Joko menegaskan, dengan model penjaminan risiko dan keterlibatan mitra internasional, BPDLH menargetkan terciptanya ekosistem pembiayaan yang mendukung pengelolaan sampah, mengurangi emisi gas rumah kaca, sekaligus memperkuat ekonomi sirkular di Indonesia.
Dukungan Internasional
Duta Besar Denmark untuk Indonesia H.E. Mr. Sten Frimodt Nielsen menilai mekanisme nasional seperti BPDLH sangat krusial dalam mendukung komitmen iklim Indonesia. Ia berpendapat, mekanisme nasional untuk memobilisasi dan mengelola pendanaan iklim, baik domestik maupun internasional, adalah fundamental untuk melanjutkan komitmen Perjanjian Paris.
"BPDLH punya peran kritis untuk menjembatani pendanaan pembangunan dengan investasi swasta," ungkapnya.
Ia menekankan pendekatan derisking yang ditawarkan bisa membuat sektor pengelolaan sampah lebih menarik bagi investor.
"Investasi seperti ini diperlukan di sektor yang risikonya tinggi, tapi kebutuhannya justru lebih besar," imbuhnya.
Sementara itu, Project Manager SGAC UNDP, Abdullah Zed, menilai program ini bisa menjadi katalis masuknya pembiayaan swasta. Dana hibah pembangunan memang kecil jumlahnya, kata ia, tapi bisa mengundang investasi swasta dan perbankan lebih besar.
"Misalnya, hibah US$30 ribu untuk kelompok masyarakat bisa meningkatkan pendapatan mereka lebih dari 500% dan membuat mereka bankable dalam satu hingga dua tahun," jelas Abdullah.
(miq/miq)