Internasional

Korsel Warning Bisa Jatuh dalam Krisis Bak 1997, Ada Apa?

Tommy Patrio Sorongan & sef, CNBC Indonesia
Senin, 22/09/2025 21:30 WIB
Foto: Bendera Korea Selatan (AFP/JUNG YEON-JE/File Foto)
Dafar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Korea Selatan (Korsel) Lee Jae Myung menyatakan bahwa ekonomi negaranya bisa jatuh ke dalam krisis yang menyaingi krisis 1997. Ini jika pemerintah menerima tuntutan Amerika Serikat (AS) dalam perundingan perdagangan yang kini macet, tanpa adanya perlindungan pada dalam negeri.

Hal ini disampaikan dalam wawancara dengan Reuters, Senin (22/9/2025). Seoul dan Washington secara lisan telah menyepakati perjanjian perdagangan pada bulan Juli, di mana AS akan menurunkan tarif Presiden Donald Trump atas barang-barang Korsel sebagai imbalan atas investasi senilai US$ 350 miliar (sekitar Rp 5.811 triliun) dari Negeri Ginseng.

Namun, Lee mengatakan bahwa kedua negara belum menuangkan kesepakatan itu ke dalam dokumen resmi yang mengikat. Karena adanya perselisihan tentang bagaimana investasi tersebut akan ditangani.


"Tanpa currency swap (pertukaran mata uang), jika kita harus menarik US$ 350 miliar seperti yang diminta AS dan menginvestasikan semuanya dalam bentuk tunai di AS, Korsel akan menghadapi situasi seperti yang terjadi pada krisis keuangan 1997," katanya melalui seorang penerjemah.

Dalam sebuah wawancara di kantornya pada hari Jumat, Lee juga berbicara tentang penggerebekan imigrasi besar-besaran AS yang menahan ratusan warga Korea. Termasuk hubungan Seoul dengan Korea Utara (Korut), China, dan Rusia.

Perundingan perdagangan dan pertahanan dengan AS, sekutu militer dan mitra ekonomi utama Korsel, membayangi kunjungan Lee hari ini ke New York. Di mana ia akan berpidato di Majelis Umum PBB dan menjadi Presiden Korsel pertama yang memimpin pertemuan Dewan Keamanan.

Skandal Hyundai

Bulan ini, pemerintahan Trump mengguncang Korsel dengan penangkapan lebih dari 300 pekerja warga negaranya di sebuah pabrik baterai Hyundai Motor di Georgia, AS. Pejabat federal AS menuduh mereka melakukan pelanggaran imigrasi.

Lee mengatakan bahwa warga Korsel secara alami marah dengan perlakuan "kasar" terhadap para pekerja, di mana pemerintahan Trump mempublikasikan foto mereka dalam belenggu. Korsel telah memperingatkan bahwa hal itu dapat membuat perusahaan khawatir untuk berinvestasi di Amerika Serikat.

Namun, dia mengatakan penggerebekan itu tidak akan merusak aliansi bilateral, memuji Trump karena menawarkan untuk membiarkan para pekerja tinggal. Lee mengatakan dia tidak percaya itu diarahkan oleh Trump, melainkan akibat dari penegakan hukum yang terlalu bersemangat.

"Saya tidak percaya ini disengaja, dan AS telah meminta maaf atas insiden ini, dan kami telah sepakat untuk mencari langkah-langkah yang masuk akal dalam hal ini dan kami sedang mengerjakannya," katanya.

Sementara itu di New York, Kantor Lee mengatakan tidak ada rencana baginya untuk bertemu Trump. Bahwa perundingan perdagangan tidak ada dalam agenda kunjungan tersebut.

Kata AS

Menteri Perdagangan Howard Lutnick mengatakan Korsel harus mengikuti kesepakatan Jepang dengan AS. Dia mengatakan Seoul harus menerima kesepakatan itu atau membayar tarif, menggunakan penggambaran pemerintahan Trump tentang pemerintah asing yang membayar pungutan, padahal pungutan tersebut justru dibayar oleh importir AS.

Lee, ketika ditanya apakah dia akan mundur dari kesepakatan itu, mengatakan bahwa dia yakin antara sekutu dekat, kedua negara akan dapat mempertahankan rasionalitas minimum. Korsel sendiri memang telah mengusulkan jalur currency swap dengan AS untuk mengurangi guncangan investasi terhadap pasar lokal untuk mata uang won. 

"Korea Selatan berbeda dari Jepang, yang mencapai kesepakatan perdagangan dengan AS pada bulan Juli. Tokyo memiliki cadangan devisa lebih dari dua kali lipat dari Korea Selatan yang sebesar US$ 410 miliar (sekitar Rp 6.814 triliun), mata uang internasional yen dan jalur swap dengan Amerika Serikat," kata Lee.

Seoul dan Washington telah menyatakan secara tertulis bahwa setiap proyek investasi harus layak secara komersial. Tetapi menyusun rinciannya terbukti sulit.

"Mencapai kesepakatan terperinci yang menjamin kelayakan komersial kini menjadi tugas utama-namun juga tetap menjadi hambatan terbesar," tutur Lee.

"Proposal selama perundingan tingkat kerja tidak memberikan jaminan kelayakan komersial, sehingga sulit untuk menjembatani kesenjangan,"tambahnya.

Trump mengatakan bahwa investasi akan "dipilih" olehnya dan dikendalikan oleh AS. Ini berarti Washington akan memiliki kebijaksanaan atas di mana uang itu akan diinvestasikan.

Namun, penasihat kebijakan Lee, Kim Yong Beom, mengatakan pada bulan Juli bahwa Korsel telah menambahkan mekanisme pengaman untuk mengurangi risiko pembiayaan. Termasuk mendukung proyek-proyek yang layak secara komersial daripada memberikan dukungan keuangan tanpa syarat.

Lee mengatakan Korsel dan AS tidak setuju untuk meningkatkan kontribusi Seoul terhadap pertahanannya sendiri, yang didukung oleh 28.500 tentara AS di semenanjung Korea. Tetapi Washington ingin menjaga perundingan keamanan dan perdagangan tetap terpisah.

"Kita harus mengakhiri situasi tidak stabil ini sesegera mungkin," katanya, ketika ditanya apakah perundingan bisa berlanjut hingga tahun depan.

Krisis Korea 1997

Sebelumnya di 1991, mata uang Korea Won, terdepresiasi secara signifikan dan anjlok ke titik terendah sepanjang masa, yaitu 1.995 won terhadap dolar AS. Lonjakan produk domestik bruto (PDB) per kapita dari hanya US$94 pada tahun 1961 menjadi lebih dari US$10.000 pada pertengahan 1990-an, terhenti mendadak pada tahun 1997.

Resesi besar muncul dipicu oleh jatuhnya mata uang Thailand bath terhadap dolar AS. Korsel menghadapi pukulan finansial yang parah akibat hilangnya kredibilitas karena investor asing menarik uang mereka dari Korea.

Di antara segudang faktor yang berkontribusi, penyebab utama gejolak keuangan nasional adalah meningkatnya defisit transaksi berjalan, kebijakan nilai tukar pemerintah, konglomerat Korea yang terlilit utang, dan bank-bank yang bergantung pada pinjaman luar negeri jangka pendek. Bisnis dan lembaga pemberi pinjaman yang terlalu percaya diri, termahjakan oleh pinjaman jangka pendek dari kreditor asing, terpapar risiko nilai tukar mata uang asing.

Kebijakan suku bunga tetap pemerintah, yang seharusnya menjaga nilai tukar won Korea terhadap dolar dalam kisaran tertentu untuk menghindari volatilitas ekstrem, gagal menahan arus keluar modal secara tiba-tiba akibat hilangnya kepercayaan investor asing. Runtuhnya patokan won Korea terhadap dolar mengakibatkan depresiasi nilai mata uang lokal yang signifikan.

Situasi ini pada gilirannya berarti pembayaran yang lebih besar dari pihak perusahaan dan perusahaan pinjaman yang terbebani dengan pinjaman luar negeri yang besar. Cadangan devisa pemerintah menyusut, turun dari sekitar US$30 miliar menjadi sekitar US$4 miliar pada Desember 1997, sementara utang luar negeri mencapai US$153 miliar.

Krisis keuangan ini berdampak luas di seluruh masyarakat Korea, menyebabkan gelombang kebangkrutan di antara perusahaan-perusahaan Korea dari berbagai skala. Bahkan raksasa industri seperti Samsung dan Hyundai terpaksa menerapkan langkah-langkah penghematan, termasuk pengurangan investasi dan PHK yang signifikan, dalam upaya memulihkan perekonomian mereka yang sedang terpuruk.


(tps/tps)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Presiden Lee Jae Myung Ungkap Risiko Jika Korsel Turuti AS