Internasional

Negara Ini Gelar Referendum Setelah 4 Tahun Dikuasai Junta Militer

Intan Rakhmayanti Dewi, CNBC Indonesia
21 September 2025 15:45
Seorang warga memegang spanduk saat berpartisipasi dalam unjuk rasa kampanye kesadaran untuk referendum 21 September mendatang mengenai konstitusi baru, di Conakry, Guinea, Selasa (16/9/2025). Spanduk tersebut bertuliskan "Saya memilih ya". (REUTERS/Souleymane Camara/File Photo)
Foto: Seorang warga memegang spanduk saat berpartisipasi dalam unjuk rasa kampanye kesadaran untuk referendum 21 September mendatang mengenai konstitusi baru, di Conakry, Guinea, Selasa (16/9/2025). Spanduk tersebut bertuliskan "Saya memilih ya". (REUTERS/Souleymane Camara/File Photo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Empat tahun setelah militer merebut kekuasaan, rakyat Guinea akhirnya memberikan suara dalam referendum konstitusi baru pada Minggu (21/9/2025).

Referendum ini berpotensi membuka jalan bagi pemilu, namun juga memungkinkan pemimpin junta Jenderal Mamady Doumbouya maju sebagai calon presiden.

Referendum tersebut dipastikan akan diboikot oleh pihak oposisi. Oposisi menyebut langkah tersebut hanya "kedok" junta untuk mempertahankan kekuasaan.

Sekitar 6,7 juta warga dari total populasi 14,5 juta memiliki hak suara dalam pemungutan yang dibuka sejak pukul 08.00 waktu setempat. Komisi pemilu memperkirakan hasil resmi baru akan diumumkan pada Selasa malam.

Pemerintah menurunkan lebih dari 45.000 aparat pertahanan dan keamanan untuk mengamankan jalannya referendum. Selain itu, dikerahkan 1.000 kendaraan lapis baja dan helikopter tempur, menurut keterangan Gendarmerie Nasional, dikutip dari AFP.

Guinea masih berada di bawah kekuasaan Doumbouya sejak menggulingkan presiden terpilih Alpha Conde pada 2021.

Awalnya, junta berjanji akan mengembalikan pemerintahan sipil sebelum akhir 2024. Namun hingga kini, meski menjanjikan pemilu presiden dan legislatif tahun ini, belum ada jadwal resmi yang diumumkan.

Kampanye referendum didominasi kubu pendukung "ya", ditandai dengan berbagai aksi massa dan poster bergambar Doumbouya yang berusia 40 tahun. Sebaliknya, kampanye "tidak" hampir tak terdengar, lebih banyak berlangsung di media sosial dan dipimpin oleh pengkritik junta di luar negeri.

Sejak 2022, junta melarang demonstrasi dan menindak keras oposisi, termasuk dengan penangkapan, pengasingan paksa, hingga penghilangan sejumlah tokoh. Pada Agustus lalu, dua partai oposisi utama ditangguhkan selama tiga bulan. Beberapa media juga dibekukan, sementara jurnalis ditangkap, memicu iklim ketakutan di kalangan pers.

Jika disahkan, konstitusi baru akan menggantikan piagam transisi yang sebelumnya melarang pemimpin junta maupun pejabat negara maju dalam pemilu. Aturan itu kini dihapus, membuka jalan bagi Doumbouya mencalonkan diri sebagai presiden.

Meski mengandung pasal progresif, seperti pembentukan Mahkamah Agung, pembentukan Senat, serta kuota minimal 30% perempuan dalam jabatan politik, draf konstitusi juga menuai kritik keras.

Syarat calon presiden yang harus berusia 40 hingga 80 tahun dan berdomisili utama di Guinea otomatis menyingkirkan dua tokoh oposisi besar, yakni mantan presiden Conde (87) yang berada di Istanbul serta mantan PM Cellou Dalein Diallo (73) yang tinggal di Dakar dan Abidjan.

Sejak kudeta 2021, Guinea masih diskors dari Uni Afrika (AU). Sementara itu, ECOWAS juga tidak mengundang negara tersebut dalam pertemuan kepala negara.

Kantor HAM PBB dalam pernyataannya mendesak junta Guinea memastikan referendum berlangsung damai dan transparan. Namun lembaga itu juga menyoroti larangan partai politik serta media yang menimbulkan keraguan terhadap inklusivitas dan kebebasan partisipasi.

 


(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jurnalis Dieksekusi Mati Gegara Cuitan Protes ke Pemerintah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular