Pengusaha Baja Teriak Tertekan Barang China Gempur RI, Temukan Ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Lonjakan impor baja, khususnya Hot Rolled Coil (HRC) dari China kembali menjadi isu serius yang perlu mendapat perhatian pemerintah. Ketua Komite Eksekutif Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) atau asosiasi industri besi dan baja Indonesia Akbar Djohan mengatakan, hal ini bisa mengancam daya saing produk baja dalam negeri.
Menurutnya, trade remedies atau instrumen proteksi seperti yang diterapkan di sejumlah negara kini menjadi kebutuhan yang mendesak untuk menjaga keberlanjutan industri baja nasional, terutama di tengah gelombang proteksionisme yang semakin marak.
"Impor baja yang meningkat merupakan alarm bagi kita semua bahwa trade remedies kini menjadi instrumen proteksi yang krusial untuk menjaga industri dalam negeri di tengah gelombang proteksionisme global. Kenaikan impor HRC dari China memang menjadi perhatian serius bagi kami karena berpotensi melemahkan daya saing produk baja nasional. Apalagi, kapasitas produksi dalam negeri sebenarnya mampu memenuhi kebutuhan pasar, khususnya untuk mendukung proyek-proyek strategis pemerintah," ujar Akbar Djohan kepada CNBC Indonesia, Jumat (19/9/2025).
Data yang ada menunjukkan, tingginya volume baja impor, khususnya HRC, mengakibatkan utilisasi kapasitas pabrik baja nasional masih berada di bawah 60%. Hal ini, menurut Akbar, mencerminkan bahwa potensi produksi dalam negeri belum dimanfaatkan secara maksimal.
"Masuknya HRC impor membuat tingkat utilisasi pabrik baja nasional rata-rata masih di bawah 60%. Artinya, kemampuan produksi lokal belum terserap optimal karena pasar dibanjiri produk impor, termasuk HRC karbon maupun alloy yang kerap digunakan sebagai praktik circumvention (penyimpangan/ penyelewengan)," jelasnya.
Selain masalah volume, perbedaan harga antara baja impor dan domestik juga turut menjadi tantangan. China, sebagai produsen baja terbesar dunia dengan kapasitas produksi lebih dari 1 miliar ton per tahun, mampu menekan harga baja lebih rendah, sehingga membuat industri dalam negeri kesulitan bersaing. Namun, Akbar menegaskan bahwa harga baja tidak semata-mata ditentukan oleh perbedaan biaya produksi, tetapi juga oleh faktor efisiensi.
"Perbedaan antara baja impor dan domestik memang masih ada. Namun perlu dipahami bahwa harga dipengaruhi banyak faktor, termasuk skala produksi. China dengan kapasitas produksi lebih dari 1 miliar ton per tahun mampu menekan harga secara signifikan. Oleh karena itu, utilisasi pabrik nasional menjadi kunci untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya," ujarnya.
IISIA terus mendorong anggotanya untuk terus berinovasi dalam proses produksi agar dapat meningkatkan daya saing industri baja nasional. Tak hanya itu, IISIA juga meminta agar pemerintah memperkuat regulasi terkait penggunaan trade remedies guna melindungi industri dalam negeri dari dampak negatif impor yang semakin meningkat.
Dukungan pemerintah dalam memperkuat kebijakan proteksi, menurutnya, akan menjadi kunci bagi keberlanjutan industri baja domestik, yang tidak hanya vital untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, tetapi juga untuk mendukung agenda pembangunan pemerintah.
"Sejalan dengan itu, IISIA terus mendorong anggotanya melakukan inovasi dan efisiensi dalam proses produksi agar daya saing semakin kuat. Untuk itu, IISIA secara aktif mendorong pemerintah memperkuat regulasi melalui instrumen trade remedies seperti BMAD, safeguard, serta konsistensi penerapan SNI dan TKDN. Perlindungan dan kepastian regulasi ini akan membuat industri baja nasional dapat beroperasi lebih optimal, meningkatkan utilisasi, menjaga keberlanjutan tenaga kerja, serta mendukung program pembangunan nasional," kata Akbar yang juga Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk itu.
(dce)