CNBC Insight

Warga Jakarta Tolak Gotong Mayat Pejabat Ini, Pas Hidup Bikin Sengsara

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
Sabtu, 13/09/2025 16:30 WIB
Foto: Pekerja memproduksi peti khusus jenazah COVID-19 di Kawasan Ciater, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (14/4/2020). Peti mati khusus jenazah COVID-19 tersebut dilapisi alumunium plastik di semua sisi untuk mencegah penyebarannya. (CNBC INDONESIA/ANDREAN KRISTIANTO)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada era pendudukan Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC di Indonesia, terdapat seorang pejabat yang akhir hidupnya tragis, karena kebijakan yang dibuat tidak berpihak kepada masyarakat.

Nama pejabat itu adalah Qiu Zuguan. Ia merupakan kepala lembaga Boedelkamer. Lembaga ini bertugas mengurus harta peninggalan orang-orang Tionghoa di Batavia (kini Jakarta). Jabatan yang memang tak sementereng Gubernur Jenderal VOC.


Meski hanya sebagai pejabat lokal, Qiu Zuguan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat, hingga dibenci sampai meninggal. Bahkan, ketika jasadnya sudah terbaring di peti mati, tak ada satupun orang yang mau menggotong dan mengantar ke liang lahad.

Kebijakannya bermula saat banyak warga Tionghoa yang kembali ke negeri asal sambil membawa aset mereka di era penjajahan. Tugas Qiu adalah menarik pajak dari aset tersebut. Selain itu, dia juga berwenang mengurus ahli waris maupun peninggalan yang ditinggalkan di Jakarta

Sejarawan Leonard Blusse dalam The Chinese Annals of Batavia (2018) menulis, sejak menjabat pada 1715, Qiu kerap membuat rakyat sengsara dengan kebijakan-kebijakan pajaknya. Hampir semua aktivitas dikenakan pajak atau pungutan.

Warga Tionghoa yang hendak menggelar upacara pernikahan misalnya, wajib membayar pajak. Beban serupa juga terjadi ketika seseorang meninggal. Keluarga harus membayar pungutan berdalih sertifikat kematian.

Pada era VOC memang orang-orang Tionghoa jadi kelompok yang paling sering ditagih pajak untuk hal-hal pribadi. Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) menyebut mereka bahkan dikenakan pajak kepala dan kuku. Bila menolak membayar, ancamannya adalah denda 25 gulden atau hukuman penjara.

Meski tercekik, warga hanya bisa patuh pada aturan itu jika tidak ingin mendapat konsekuensi penjara.

Namun, ketika Qiu meninggal pada Juli 1721, kesempatan untuk melampiaskan kekesalan akhirnya datang. Lazimnya, pejabat atau tokoh terkenal diantar dengan hormat ke pemakaman. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi Qiu. Tak seorang pun mau mengangkat petinya.

"Alhasil, peti mati berisi jasad Qiu diletakkan begitu saja di tengah jalan karena tidak ada orang mau mengangkatnya sampai kuburan," tulis Leonard Blusse dalam bukunya.

Keluarganya pun kebingungan. Berbagai bujukan agar warga mau mengantar jasadnya ditolak mentah-mentah. Pada akhirnya, mereka terpaksa menyewa warga lokal untuk mengusung peti Qiu ke liang lahat. Meski sudah terkubur, kenangan pahit akibat kebijakan menyengsarakan Qiu tetap melekat kuat dalam ingatan rakyat.

Catatan: Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Lewat kisah seperti ini, CNBC Insight juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan dari masa lampau yang masih bisa dijadikan pelajaran di hari ini.


(Arrijal Rachman/fab)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Ribuan Orang Antar Pemakaman Affan Kurniawan di TPU Karet Bivak