Bahaya! Petaka Intai Bisnis Hotel-Restoran RI, Bisa Rontok Berjamaah

Damiana, CNBC Indonesia
10 September 2025 15:05
Dana Desa Sudah Tersalurkan, Awas Rawan Dikorupsi
Foto: Infografis/ Dana Desa Sudah Tersalurkan, Awas Rawan Dikorupsi/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengkhawatirkan momok baru yang mengancam bisnis perhotelan, restoran hingga pariwisata di Tanah Air.

Yusran mengungkapkan, di tahun 2025 ini saja, bisnis perhotelan, restoran, dan pariwisata di Indonesia masih di bawah tahun 2024. Okupansi yang biasanya naik di kuartal ketiga dan mencapai puncak di kuartal keempat, sampai saat ini tanda-tanda itu belum muncul.

Meski, imbuh dia, pemerintah telah mengizinkan kegiatan digelar di hotel, tetap tak bisa mendongkrak kinerja, termasuk okupansi hotel di semester II tahun 2025. Karena tidak bisa mengkompensasi potensi yang hilang di semester I tahun 2025, salah satu efek efisiensi anggaran pemerintah.

"Bahkan, bisa dikatakan tidak bertumbuh di kuartal ketiga. Karena hanya mengandalkan daerah. Karena daerah sendiri juga sudah kesulitan untuk menganggarkan. Kenapa? Karena tahun ini juga kan sudah dipotong transfer anggaran oleh pusat ke mereka," kata Yusran kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (10/9/2025).

"Sementara program lain yang sudah dirutinkan juga sudah terbatas," sambungnya.

Kini, industri perhotelan, restoran hingga pariwisata akan menghadapi efek domino pemangkasan anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Alokasi untuk tahun 2026 dianggarkan sebesar Rp650 triliun, turun dalam dari tahun 2025 yang disiapkan Rp864,06 triliun.

Karena itu, Yusran mengatakan, masih berlanjutnya pemangkasan atau efisiensi anggaran oleh pemerintah saat ini akan berdampak pada kegiatan-kegiatan di daerah.

"Tentu ini nanti juga akan berdampak di 2026 sudah pasti. Karena pajak hotel-restoran itu kan penyumbang 3 besar PAD (Pendapatan Asli Daerah). Otomatis PAD-nya nanti akan turun. Nah, setelah turun nanti bagaimana dengan postur APBD-nya tahun 2026? Karena transfer daerahnya juga dipotong. Sementara PAD yang dihasilkan tahun 2025 turun," cetusnya.

Hal inilah yang menjadi salah satu ketakutan pelaku usaha, termasuk PHRI. Sebab, dengan kewenangan darah menetapkan kenaikan pajak, terutama PBB, pemerintah daerah pasti akan menaikkan pajak setiap kali butuh untuk mendapatkan uang lebih atau menambah fiskalnya.

Belum lagi rentetan kenaikan retribusi seperti retribusi sampah hingga retribusi air yang sebelumnya sudah naik besar-besaran.

Kabupaten Pati yang menaikkan PBB secara fantastis, yang sebelumnya memicu keributan sosial, lanjutnya, adalah salah satu contoh. Meski kemudian banyak daerah tidak berani melanjutkan kenaikan PBB akibat polemik di Kabupaten Pati.

"Sebenarnya mereka (Pemerintah Daerah) akan mengejar di PBB itu untuk menutupi kekurangan transfer dari pusat itu," ujarnya.

"Ini kan sangat tidak menyehatkan bagi bisnis di setiap daerah. Karena kewajiban pelaku usaha tidak seiring dengan kondisi ekonomi. (Bisnis hotel-restoran terancam rontok dengan situasi ini?) Berpotensi," ucapnya.

Kondisi ini, diakui Yusran, merupakan posisi di mana pelaku usaha sudah jatuh, masih tertimpa tangga. Di mana, kegiatan-kegiatan sudah terpangkas, masih harus dihadapkan potensi kenaikan beban-beban pajak tambahan untuk "membantu" pendapatan daerah.

"Pemerintah Pusat sebenarnya sudah tahu bahwa 70% daerah itu masih sangat bergantung pada suntikan duit dari pusat. Cukup besar. Katanya hanya 4 provinsi yang tidak bergantung ke APBN. Jadi dengan makin dipotongnya transfer ke daerah, tentu akan berdampak. Itu pasti," beber Yusran.

Efek dominonya, kondisi di tengah lesunya perputaran ekonomi di bisnis perhotelan, pariwisata, dan hotel akibat salah satunya efisiensi anggaran, akan memicu semakin melebar dan meluasnya penurunan kinerja sektor usaha. Yang akan memicu peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor jasa, terutama perhotelan, restoran, hingga pariwisata.

"Karena sebenarnya bukan hanya bicara event-event yang di hotel. Tapi lebih besar dari itu. Kadang konotasinya selalu meeting di hotel saja. Tapi sebenarnya kan ada yang lebih penting, PAD atau APBD di setiap daerah digunakan untuk pembangunan. Pembangunan macam-macam," ucapnya.

"Ada infrastruktur, fasilitas umum, segala macam. Itu yang menggerakkan ekonomi di daerah. Karena di daerah itu sangat bergantung aktivitas pemerintah. Belum kalau kita bicara pariwisata. APBD kan bisa untuk promosi. Presiden mengizinkan penerbangan internasional langsung ke bandara di daerahnya. Tapi kalau nggak ada uang untuk mempromosikan atau mengkomunikasikan itu kan sama juga bohong," tukasnya.

Lalu dari mana uangnya? Tentu saja dari PAD dan suntikan dana dari pusat. Sementara, PAD 2025 sudah menurun bahkan defisit akibat aktivitas ekonomi yang sudah lesu akibat efisiensi belanja pemerintah. Juga kini akan mengalami pemangkasan transfer dari pusat, tentu APBD tidak akan mencukupi.

"Ini untuk kabupaten/ kota ya, sudah pasti. Provinsi dapat dari pajak kendaraan bermotor (PKB). Yang jadi masalah di daerah tingkat II," ujarnya.

"Jadi ini semua tergantung pada pemerintah pusat. Memang kalau kita lihat kondisi seperti sekarang, memang dibutuhkan program yang menyentuh langsung dan menggerakkan ekonomi di daerah. Ini dulu yang penting," tukasnya.

Belum lagi, imbuh dia, jika bicara industri perhotelan, pariwisata, dan restoran berarti menyangkut ekosistem yang di dalamnya ada UMKM. Di mana, UMKM adalah penggerak ekonomi di daerah.

"Mulai dari transportasi, sektor makanan dan minuman, pemeliharaan. Banyak yang terkait. Mungkin saya tidak bisa bilang berapa rantai pasoknya. Tapi cukup besar ekosistemnya. Kebutuhan untuk kamar mandi, pusat oleh-oleh, telur, beras dan sebagainya," sebutnya.

Karena itu daerah sangat mengandalkan uang dari pusat.

"Bentuknya macam-macam. Pembangunan infrastruktur, koordinasi, dan seterusnya. Tanpa ini akan terjadi krisis di setiap daerah. Apalagi dengan pemotongan transfer ke daerah," ucapnya.

"Bisnis ini kan sebenarnya bisa jadi mesin uang negara. Tapi kalau mesin uangnya krisis, lalu dinaikin pajaknya, siapa yang akan bayar? Yang terjadi adalah PHK. Justru sekarang yang paling penting adalah bagaimana setiap orang di tengah kondisi nggak menentu, bisa tetap bekerja," kata Yusran.

Kondisi itu, ucapnya, tentu akan memicu fenomena seperti yang terjadi sekarang, di mana banyak pelaku usaha menutup operasi bisnisnya.

"Mungkin kita nggak bicara PHK dulu. Tapi, yang jelas tenaga kerja di hotel itu mereka mungkin sudah tak bekerja sebulan penuh. Mungkin hanya 1-2 minggu. Atau 3 minggu," ujarnya.

"Kalau kita bicara semester I saja di tahun 2025 ini, kalau dibandingkan ke tahun 2024, sudah minus 3,52%. Kalau merujuk data ke BPS ya. Jadi kondisi saat ini hampir mirip di tahun 2022. Dan, rata-rata okupansi di semua daerah itu, pada semester I 2025 tidak ada yang melebihi semester I 2025. Semua di bawah. Ada yang turun rata-rata 7-8%, ada 20%, ada 10-18%. Jadi sudah terlihat kondisinya sangat jelek," kata Yusran.


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pengusaha Hotel-Resto Teriak, Sudah Dipalak Ormas Juga Ada Ancaman Ini

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular