Sederet "PR" untuk Menkeu Purbaya, Disiplin Fiskal Paling Penting!

Zahwa Madjid, CNBC Indonesia
10 September 2025 08:15
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat acara Serah Terima Jabatan Menteri Keuangan di Aula Mezanin Gd Juanda 1, Kementerian Kuangan, Jakarta, Selasa (9/9/2025). (YouTube./Kementerian Keuangan RI)
Foto: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat acara Serah Terima Jabatan Menteri Keuangan di Aula Mezanin Gd Juanda 1, Kementerian Kuangan, Jakarta, Selasa (9/9/2025). (YouTube./Kementerian Keuangan RI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah ekonom menjelaskan terdapat beberapa hal penting yang perlu menjadi fokus utama Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang baru saja dilantik Selasa (9/9/2025) kemarin menggantikan Sri Mulyani Indrawati.

Kepala Departemen Makroekonomi Indef, Muhammad Rizal Taufikurrahman menekankan 'Pekerjaan Rumah' utama Menteri Keuangan yang baru terletak pada kepercayaan publik dan pelaku usaha. Adapun kepercayaan tersebut terletak pada tiga jangkar utama. Yakni aturan, anggaran, dan pembiayaan.

Dari sisi aturan, disiplin defisit di bawah 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) harus diberlakukan sebagai batasan keras bukan sekadar target yang bisa dinegosiasikan. Untuk menjamin transparansi, pemerintah juga perlu menghadirkan laporan risiko fiskal triwulanan yang jelas.

"Perlu ditegaskan bahwa 3% PDB itu sebagai hard ceiling disertai fiscal risk statement triwulanan sensitivitas minyak-rupiah-pertumbuhan dan escape clause yang sempit serta terukur," ujar Rizal kepada CNBC Indonesia, Rabu (10/9/2025).

Dari sisi anggaran, Menkeu dinilai perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap belanja dalam 100 hari pertama, sehingga alokasi bisa segera digeser ke pos-pos yang memiliki efek pengganda tinggi terhadap perekonomian. Disiplin fiskal juga harus diperkuat dengan penerapan prinsip Pay-As-You-Go atau PAYGO, di mana setiap belanja permanen maupun pemotongan pajak harus disertai sumber pembiayaan yang setara sehingga defisit tidak melebar dibandingkan baseline.

Selain itu, insentif perpajakan perlu terus dievaluasi melalui mekanisme tax expenditure review dengan klausul kadaluarsa (sunset clause) sehingga tidak menjadi beban permanen APBN.

"PAYGO adalah aturan fiskal yang mewajibkan setiap kebijakan baru yang bersifat permanen baik penambahan belanja maupun pemotongan pajak harus sekaligus disertai sumber "pay-for" (penghematan/efisiensi atau tambahan penerimaan) dengan nilai yang sama, sehingga defisit APBN tidak bertambah dibanding baseline," ujarnya.

Dari sisi pembiayaan, Rizal menilai strategi pengelolaan utang juga perlu diperkuat. Pemerintah disarankan memperpanjang tenor utang untuk mengurangi risiko jatuh tempo, melakukan switching dan buyback secara aktif, serta menerbitkan surat berharga negara dengan kalender yang terprediksi sehingga pasar dapat mengantisipasi dengan lebih baik.

Sementara Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menekankan pentingnya menjaga kredibilitas fiskal. Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 harus tetap berada dalam koridor defisit yang sehat, disertai perbaikan kualitas belanja dan tata kelola yang transparan agar imbal hasil SBN bisa turun kembali ke level yang lebih stabil.

Menkeu juga dituntut mempercepat pelaksanaan program prioritas tanpa mengorbankan kesehatan fiskal.

"Mempercepat pelaksanaan program prioritas tanpa mengorbankan kesehatan fiskal, termasuk memastikan rantai pasok, kesiapan daerah, dan skema pembiayaan yang efisien sehingga dorongan belanja benar-benar produktif," ujar Josua kepada CNBC Indonesia, Rabu (10/9/2025).

Tak hanya itu, Josua menilai Menteri Keuangan perlu memperkuat koordinasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan dengan BI, OJK, dan LPS untuk menahan volatilitas rupiah, menjaga likuiditas pasar SBN, serta meminimalkan arus keluar portofolio.

Dari sisi penerimaan, Josua menilai peta jalan penerimaan harus diperjelas dengan melakukan beberapa kebijakan. Seperti perbaikan sistem administrasi perpajakan, efektivitas insentif, dan pengawasan kepabeanan sehingga ruang fiskal bertambah tanpa membebani daya beli masyarakat.

"Paket kebijakan ini perlu disertai rencana komunikasi yang terjadwal agar pasar tidak menerka-nerka arah kebijakan," ujarnya.

Namun, pekerjaan rumah Menkeu Purbaya tidak berhenti di situ. Ekonom Center for strategic and international Studies (CSIS), Riandy Laksono menyoroti bahwa masalah paling mendesak justru ada pada penyaluran anggaran program prioritas yang lambat.

Alih-alih menjadi motor penggerak, dinamika belanja pemerintah kerap memperlambat pertumbuhan. Riandy mencontohkan proses penyaluran dana untuk program prioritas Makan Bergizi Gratis yang dinilai masih bermasalah dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

"Dalam jangka pendek Menkeu yang baru perlu memperbaiki persoalan disbursement yang masih lambat di program-program prioritas. Ini perlu untuk mendongkrak growth di jangka pendek. APBN perlu kembali sebagai shock absorber bukan malah memperberat pertumbuhan," ujar Riandy kepada CNBC Indonesia, Rabu (10/9/2025).

Kendati demikian, Riandy menilai ruang fiskal Indonesia sangat terbatas, sehingga dorongan pertumbuhan ke depan harus banyak bergantung pada investasi dan perdagangan. Maka dari itu, Menkeu perlu menciptakan iklim investasi yang ramah industri menjadi sentral, khususnya bagi sektor manufaktur padat karya berbasis ekspor.

Perpindahan basis produksi global dari Tiongkok akibat tensi perdagangan dengan Amerika Serikat merupakan peluang besar bagi Indonesia. Jika regulasi dan insentif dapat diarahkan dengan tepat, Indonesia berpotensi menarik industri hilir yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, sehingga sekaligus menjawab masalah penciptaan lapangan kerja berkualitas.

"Karena pabrik-pabrik yang akan berpotensi keluar dari china adalah sektor hilir/produk jadi yang karakternya banyak menyerap pekerja, maka ini berpotensi mengatasi isu penciptaan kerja yang berkualitas yang saat ini sedang Indonesia hadapi. Peran menkeu adalah memastikan insentif atau subsidi serta struktur tarif yang diberikan benar-benar efektif mendorong industrialisasi," ujarnya.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menambahkan catatan lainnya. Dalam jangka pendek, stimulus ekonomi di semester kedua tahun 2025 harus segera dijalankan untuk menjaga daya beli masyarakat.

Namun, pada saat yang sama disiplin fiskal untuk tahun 2025 dan 2026 tidak boleh dikorbankan

"Ada beberapa yang urgent. Pertama memastikan stimulus ekonomi di Semester 2 2025, untuk menstimukus daya beli dan pertumbuhan ekonomi dan kedua memastikan fiskal 2025 dan 2026 aman dengan menerapkan fiscal discipline," ujar Wijayanto kepada CNBC Indonesia, Rabu (10/9/2025).

Wijayanto pun menjelaskan Menteri Keuangan perlu menghindari solusi instan yang berpotensi merusak ekosistem kebijakan fiskal-moneter, seperti praktik burden sharing dengan Bank Indonesia yang dilakukan secara berlebihan.

"Menghindari solusi fiskal yang berpotensi merusak ekosistem kebijakan moneter dan fiskal, misalnya burden sharing yang kebablasan," tegasnya.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Defisit APBN 2026 Dekati 2,5%, Program Prioritas Prabowo Aman?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular