
Daya Tahan Kuat, Terobosan Industri Baterai Tiongkok Untungkan RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengembangan baterai logam litium baru oleh ilmuwan Tiongkok, yang menurut para pengembangnya mampu menyimpan energi hingga dua kali lipat dibandingkan litium ion standar industri saat ini, merupakan terobosan signifikan bagi industri penyimpanan baterai global.
Terobosan terbaru yang dilaporkan dalam jurnal Nature ini menggunakan metode anyar untuk memulihkan kapasitas baterai melalui "perawatan presisi" dan baterai air berbasis silikon berkelanjutan. Teknologi ini berpotensi mencapai kepadatan energi 600 watt-jam per kilogram, hampir dua kali lipat daya baterai litium tradisional.
Kepadatan energi ini mengukur jumlah energi yang tersimpan per satuan massa dan mencerminkan seberapa banyak daya yang dapat disimpan dalam suatu perangkat. Semakin tinggi kepadatan energinya, dapat semakin kecil dan ringan pula baterai yang dihasilkan.
Keberhasilan strategi baterai Tiongkok, yang telah menghadirkan beragam solusi mutakhir dan kreatif untuk industri dan generasi mendatang, tidak hanya hasil dari inovasi, tetapi juga kolaborasi dan kemitraan global yang memadukan inovasi Tiongkok dengan keahlian lokal untuk riset dan pengembangan yang lebih efektif.
Salah satu kemitraan yang menarik untuk ditelaah muncul dalam joint venture yang terjalin antara Manitou Group, produsen alat berat dari Perancis, dan Hangcha Group, produsen forklift dari Tiongkok. Joint venture ini akan menunjukkan kerja sama keduanya dalam pembangunan dan pengoperasian pabrik baterai di Le Mans, Perancis, salah satu yang pertama di Eropa.
Menurut kedua belah pihak, kemitraan ini bertujuan mempercepat elektrifikasi di sektor penanganan material, mendukung peta jalan strategis kendaraan listrik Manitou bertajuk "LIFT", sekaligus memanfaatkan keahlian Hangcha di bidang baterai. Joint venture ini juga akan mendukung model-model listrik baru dan berpotensi menawarkan solusi baterai untuk kendaraan bertenaga timbal-asam yang sudah ada.
"Kemitraan ini selaras dengan tujuan bersama kami untuk mempercepat transformasi elektrifikasi dan mendorong pembangunan berkelanjutan, sembari turut mendorong pasar kendaraan industri global," ujar Ketua dan General Manager Hangcha Group, Zhao Limin, Kamis, (4/9/2025).
Sementara itu, Presiden dan juga CEO Manitou Group, Michel Denis juga menyebut penemuan baterai logam litium baru dari Tiongkok tersebut memungkinkan mereka untuk mempercepat penyebaran kendaraan listrik industrial miliknya.
"Keahlian Tiongkok dalam pembuatan baterai meningkatkan kemampuan produksi baterai kami secara signifikan, dan hal itu sepenuhnya sejalan dengan target rendah karbon kami," ujar Michel Denis.
Kemitraan menarik lainnya pun dikabarkan sedang dijalin oleh perusahaan terbesar India, Reliance Industries, dengan perusahaan Tiongkok yang berbasis di Xiamen, Hithium Energy Storage Co, yang sebagian sahamnya dimiliki pemerintah.
Kemitraan ini akan mencakup pemberian lisensi dasar pengetahuan teknologi Hithium kepada Reliance untuk membantunya merancang dan membangun gigafactory pertamanya di India. Sebagai imbalannya, Hithium akan menerima royalti dari Reliance.
Pemerintah Tiongkok merupakan investor penting bagi Hithium, dan dukungan negara pun turut membantu mereka tumbuh menjadi perusahaan terbesar ketiga di industri baterai global. Hithium juga telah memulai strategi untuk ekspansi global, meskipun usahanya tidak lepas dari tantangan.
Salah satu pelanggan utama Hithium di Amerika Serikat, Powin Energy, baru-baru ini mengajukan kebangkrutan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kelayakan ekspansi internasionalnya dan juga tekanan finansial yang signifikan bagi perusahaan AS tersebut, sehingga berpotensi dapat menunda rencana diversifikasi pasar di tempat perusahaan tersebut beroperasi.
Hithium yang sedang berkembang dengan Reliance di India akan memainkan peran penting di tengah tantangan ini. India telah berupaya memantapkan dirinya sebagai pusat manufaktur teknologi yang signifikan, didukung oleh tenaga kerja yang besar, terampil, dan berbahasa Inggris, serta kebijakan pemerintah seperti program "Make in India".
Negara ini semakin gencar memproduksi dan mengekspor komponen teknologi, termasuk yang digunakan oleh Apple, Cisco, dan Rockwell. India pun memiliki pasar domestik yang substansial dan terus berkembang; target dekatnya adalah untuk mengekspor barang senilai USD 1 triliun pada tahun 2030.
Kemitraan Hithium -Reliance yang sedang berkembang ini jelas akan mencerminkan bersatunya para raksasa industri, termasuk dua perusahaan terbesar di dunia dalam produksi baterai, penyimpanan energi, dan manufaktur, yang semakin diperkuat oleh dukungan pemerintah Tiongkok untuk Hithium, baik dalam pendanaan maupun teknologi.
"Hubungan ekonomi antara India dan Tiongkok ini, bahkan di tengah persaingan geopolitik, menunjukkan kebutuhan pragmatis untuk saling bekerja sama dalam ikatan erat rantai pasokan global, terutama di sektor penting seperti energi terbarukan," ujar Dr Seema Khan dari Australian Institute of International Affairs.
Indonesia pun akan sangat diuntungkan oleh hubungan dan perkembangan dinamika ini. Di era fragmentasi global dan melemahnya multilateralisme, Indonesia berada di titik tengah antara Timur dan Barat.
Tiongkok telah muncul sebagai mitra penting dalam rantai nilai energi bersih Indonesia, yang mana merupakan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan negara terpadat keempat di dunia. Indonesia sendiri sedang berada di tengah transisi hijau: negara ini telah menetapkan target transisi hijau yang ambisius, yakni mencapai puncak emisi pada tahun 2030, menghentikan penggunaan batu bara dan bahan bakar fosil pada tahun 2040, dan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 atau bahkan lebih cepat pada tahun 2050, berdasarkan visi Presiden Prabowo yang telah direvisi.
Didukung oleh skema Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai $20 miliar dan rencana penambahan 75 GW kapasitas terbarukan, pemerintah telah berjanji untuk meningkatkan porsi energi terbarukan menjadi 23% dalam bauran energi nasional pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050. Sementara itu Nusantara, ibu kota baru Indonesia, berupaya mencapai nol emisi pada tahun 2045. Investasi yang signifikan dan kemitraan internasional dengan mitra strategis akan sangat penting untuk menjembatani kesenjangan antara visi dan implementasi negara.
(dpu/dpu)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Konsorsium LG Dikabarkan Batal Investasi Rp 130 Triliun di RI