Fenomena Penyakit Lama Kambuh Lagi, Gula Rafinasi Rembes ke Pasar!

Marty Rizky, CNBC Indonesia
Rabu, 27/08/2025 17:40 WIB
Foto: Pedagang menimbang dan mengemas gula pasir di Pasar Rumput, Jakarta, Jumat (9/6/2023). Harga gula pasir di Pasar Rumput rata-rata dijual dengan harga Rp15 ribu per kilogram. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengungkap kembali adanya praktik kebocoran gula rafinasi ke pasar konsumsi rumah tangga.

Hal ini menekan eksistensi gula kristal putih (GKP) yang selama ini dihasilkan dari tebu-tebu petani melalui pabrik gula lokal. Sedangkan gula rafinasi berbasis gula mentah (raw sugar) atau gula kristal mentah (GKM) yang asalnya dari impor, lalu diolah di dalam negeri jadi rafinasi.

Sesuai aturan, gula rafinasi seharusnya hanya diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman, bukan dijual langsung untuk konsumsi masyarakat.



Sekretaris Jenderal APTRI, M. Nur Khabsyin, menegaskan praktik tersebut melanggar hukum dan harus segera ditindak aparat.


"Ya kita minta ditindak tegas lah itu. Karena itu kan melanggar hukum ya. Jadi itu kita serahkan ke aparat ya, Satgas Pangan untuk menindak kebocoran gula rafinasi di pasar itu," kata Nur saat ditemui di sela acara Seminar Ekosistem Gula Nasional di Jakarta, Rabu (27/8/2025).


Menurut Khabsyin, kebocoran gula rafinasi di pasar bisa terjadi di banyak titik. Pintu kebocoran itu bisa dari produsen, distributor, hingga melalui koperasi.


"Itu banyak pintu. Jadi kebocorannya banyak pintu. Bisa dari produsennya, bisa dari distributornya, atau dari koperasi pemasarannya. Itu yang pintu kebocoran," ungkapnya.


Ia menilai jalur distribusi lewat koperasi menjadi celah paling rawan. Saat ini tidak ada batasan kuota bagi koperasi untuk memasarkan gula rafinasi, sehingga peredarannya sulit dikendalikan.


"Nggak ada batasan. Koperasi berapapun dia bisa memasarkan. Dan itu yang banyak kebocorannya di situ," terang dia.


APTRI pun mengusulkan agar penyaluran gula rafinasi diperketat, khususnya yang melalui koperasi. "Distribusi gula rafinasi lewat koperasi itu harus dibatasi kuotanya berapa. Jangan diloskan. Harus dibatasi berapa persen dari produksi rafinasi yang bisa dipasarkan lewat koperasi itu harus ada. Kami mengusulkan dibatasi 20%. Sisanya itu dari perusahaan rafinasi langsung kepada industri mamin (makanan dan minuman). Jadi perusahaan ke perusahaan. Jangan lewat distributor, itu yang menjadikan bocor nanti," terang Khabsyin.


Ia membeberkan, kebocoran gula rafinasi diperkirakan mencapai 500 ribu ton setiap tahun. Padahal, kebutuhan nasional hanya sekitar 2,7 juta ton, sementara impor mencapai 3,4 juta ton.


"Nah ini kalau kebocoran rafinasi kita hitung ada 500 ribu ton total nasional ya. Karena kebutuhan rafinasi itu paling-paling hanya 2,7 juta ton. Tetapi impornya 3,4 juta ton. Jadi ini tidak masuk akal, makanya banyak yang bocor," jelasnya.


Ia mengingatkan, praktik tersebut menyalahi aturan pasar. "Kalau rafinasi ini khusus ke industri mamin, makanan minuman. Kalau gula petani, gula lokal ini ke masyarakat. Sebagai konsumsi itu ada aturannya kan. Kita sesuai aturan aja," tegasnya.

Adapun cara sederhana membedakan gula rafinasi dengan gula kristal putih (GKP) konsumsi milik petani, menurut Khabsyin, gula rafinasi cenderung bertekstur halus, kristalnya lebih kecil, dan berwarna lebih putih. Sementara gula kristal konsumsi tekstur kristalnya lebih besar dan berwarna agak kuning.


Dia menilai, gula rafinasi juga terasa kurang manis dibanding gula lokal. "Sama aja sih (rasanya). Tapi rafinasi kurang manis. Lebih manis gula lokal," pungkasnya.


(hoi/hoi)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Gula Rafinasi Bocor, Bikin 100 Ribu Ton Gula Petani Menumpuk