Pembangkit Nuklir Didorong Masuk Dalam Revisi UU Ketenagalistrikan
Jakarta, CNBC Indonesia - PT PLN (Persero) berharap pemanfaatan nuklir sebagai sumber energi listrik masuk ke dalam Revisi Undang-Undangan Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (RUU Ketenagalistrikan).
Hal ini seiring dengan rencana pemerintah Indonesia yang akan mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) berkapasitas 7 Giga Watt (GW) hingga tahun 2040.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyatakan, rencana pengembangan PLTN berkapasitas 7 GW itu sedang di bahas dalam Rencana Usaha Penyediaan Ketenagalistrikan (RUPTL) sampai tahun 2040. Dengan begitu, perlu aturan yang kuat dalam hal ini Undang-Undang untuk mendukung rencana pengembangan tersebut.
Pentingnya pencantuman pemanfaatan nuklir dalam RUU Ketenagalistrikan supaya bisa mendapat dukungan politik untuk implementasinya. "Dukungan politik pun, ini menjadi salah satu tantangan dari nuklir adalah dukungan politik, dan dukungan dari sosial dan masyarakat. Bahwa number one challenge of nuclear development adalah dukungan politik," terangnya.
Pemanfaatan nuklir sebagai sumber energi listrik dinilai bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang masif, menciptakan lapangan kerja, mengundang investasi yang baru, hingga memakmurkan rakyat.
"Tetapi dalam hal ini juga diperlukan juga pengurangan emisi gas rumah kaca, environmental sustainability bagaimana antara balancing between growth dan juga environmental sustainability," tambahnya.
Sebagaimana diketahui, rencana pembangunan kapasitas PLTN jenis small modular reactor (SMR) dengan kapasitas 500 Mega Watt (MW) hingga tahun 2035 merupakan tahap pertama dari pemngembangan nuklir dalam negeri. Tahap selanjutnya, pihaknya dengan pemerintah akan membangun PLTN mencapai kapasitas 7 GW hingga tahun 2040.
Nah di sisi lain, supaya listrik yang dihasilkan dari energi baru terbarukan (EBT) termasuk nuklir bisa terserap oleh masyarakat, Darmawan menekankan perlu adanya jaringan transmisi ke seluruh wilayah Indonesia. Tidak main-main, investasi yang diperlukan untuk membangun jaringan transmisi tersebut mencapai Rp 434 triliun.
"Jadi cost of fund-nya jauh lebih tinggi daripada rate of return, tentu saja financial strength dari PLN juga menjadi, perlu mendapatkan dukungan dari negara dalam hal ini," katanya.
(pgr/pgr)