Jaringan Restoran Italia Bangkrut, 48 Toko & 4.000 Karyawan Terancam
Jakarta, CNBC Indonesia - Jaringan restoran Italia mengajukan kebangkrutan. Inflasi dan suku bunga yang lebih tinggi menjadi penyebab.
Perusahaan itu adalah Bravo Brio Restaurants LLC, induk dari Bravo! Italian Kitchen & Brio Italian Grille. Perusahaan mengajukan perlindungan kebangkrutan Bab 11 di pengadilan Distrik Tengah Florida, Amerika Serikat (AS), yang merupakan kedua kalinya dalam lima tahun.
Mengutip laman Fox News, perusahaan mengaku tengah mengalami "kesulitan keuangan akut". Perusahaan ini mengajukan kebangkrutan dengan tujuan merestrukturisasi utangnya, merampingkan dan mengurangi biaya operasional, mengurangi sewa yang berkinerja buruk, menutup lokasi yang berkinerja buruk, dan menarik investor baru.
"Sebelum mengajukan perlindungan kebangkrutan, perusahaan menutup tujuh lokasi," muat laman itu, dikutip Selasa (26/8/2025).
"Secara total, terdapat 48 lokasi yang beroperasi di seluruh negeri di bawah kedua merek tersebut dengan sekitar 4.000 karyawan. Sebanyak 47 lokasi disewakan," tambahnya.
Dalam pengajuan tersebut, perusahaan mengatakan bahwa meskipun dampak langsung Covid-19 mereda, negara tersebut kemudian menghadapi inflasi yang merajalela dan kenaikan suku bunga dua kali lipat yang tajam. Tekanan-tekanan ini menghambat belanja konsumen di berbagai industri, dengan restoran dining-in paling terkena dampak.
"Restoran, terutama merek dining yang sudah ada, terdampak secara tidak proporsional karena beroperasi dengan margin tipis, sangat bergantung pada pengeluaran konsumen yang bersifat diskresioner, dan menghadapi sensitivitas yang lebih tinggi terhadap kenaikan biaya makanan, tenaga kerja, dan hunian," kata perusahaan dalam pengajuan tersebut.
"Kenaikan harga membuat pelanggan enggan makan di luar sementara suku bunga yang lebih tinggi meningkatkan biaya pembiayaan."
Sebelumnya, pengacara kebangkrutan AS, Daniel Gielchinsky, memproyeksikan pada bulan Februari bahwa semakin banyak jaringan restoran besar kemungkinan akan terus mengajukan perlindungan kebangkrutan selama beberapa tahun mendatang. Beberapa faktor menyebabkan kebangkrutan mereka, namun menurut Gielchinsky, pandemi Covid-19 pemicunya.
Karena industri mengalami penurunan lalu lintas yang signifikan. Operator ingin tetap beroperasi, sehingga mereka harus menanggung biaya seperti sewa, asuransi, dan penggajian, meskipun pelanggan tidak datang.
"Untuk tetap bertahan, restoran bergantung pada subsidi pemerintah tetapi juga mengambil pinjaman untuk mendanai pengeluaran bisnis. Ini berarti perusahaan mengakumulasi utang yang harus mereka bayar seiring waktu ditambah bunga," kata Gielchinsky.
Namun, masalahnya adalah industri ini memperkirakan pengeluaran konsumen di restoran akan kembali ke tingkat sebelum pandemi setelah keadaan kembali normal. Ketika itu tidak terjadi, restoran yang terlilit utang tidak dapat membayar kembali pinjaman tersebut.
"Pendapatan utama tidak pernah pulih," ujar Gielchinsky.
"Pelanggan tidak pernah kembali sepenuhnya karena perubahan kebiasaan dan kemampuan belanja mereka," ujarnya.
(sef/sef)