Tak Naikkan Pajak, Ini Strategi Sri Mulyani Kejar Setoran Rp2.357 T
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah menargetkan pengumpulan setoran pajak senilai Rp 2.357,71 triliun pada 2026, dari total target pendapatan negara Rp 3.147,68 triliun. Target itu naik hingga 13,51% dari sebelumnya Rp 2.076,9 triliun pada 2025.
Target itu mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah pada tahun depan sebesar 5,4% dan inflasi 2,5%, serta extra effort dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan 5,61% untuk mengejar target setoran yang tumbuh 13,51%.
Meski begitu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan, target setoran pajak yang meningkat dua digit itu tidak akan dilakukan dengan menaikkan tarif pajak, melainkan dengan berbagai reformasi layanan administrasi pajak serta penguatan pengawasan.
"Jadi, extra effort-nya sekitar 5 persen melalui berbagai langkah reformasi administrasi dan enforcement," ucap Sri Mulyani saat konferensi pers RAPBN 2025, dikutip Selasa (19/8/2025).
Dalam buku Nota Keuangan beserta RAPBN Tahun Anggaran 2026, memang telah disebutkan berbagai strategi yang akan dilakukan pemerintah untuk mengejar target setoran pajak 2026. Strategi itu terbagi ke dalam dua konsep kebijakan, yaitu kebijakan umum serta kebijakan teknis.
Untuk kebijakan umum terdiri dari hal-hal berikut:
1. perluasan basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi untuk mendukung fiskal yang kuat, peningkatan ekonomi, dan perlindungan masyarakat
2. Peningkatan kepatuhan melalui pengawasan berbasis teknologi informasi, memperkuat sinergi dan joint program, serta penegakan hukum untuk mendukung perbaikan sistem administrasi dan organisasi perpajakan;
3. Penguatan keberlanjutan reformasi perpajakan dan harmonisasi kebijakan perpajakan internasional untuk mendorong peningkatan penerimaan dan rasio perpajakan; serta
4. Pengelolaan pemberian insentif perpajakan yang semakin terarah dan terukur untuk mengakselerasi investasi, serta hilirisasi industri yang menciptakan nilai tambah tinggi.
Sedangkan kebijakan teknis juga terdiri dari empat strategi sebagai berikut ini:
1. Optimalisasi perluasan basis pemajakan melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi yang berbasis data dan risiko, yang didukung optimalisasi penggunaan Coretax dalam pengelolaan data perpajakan dan penggunaan Compliance Risk Management (CRM) dalam pengawasan kepatuhan Wajib Pajak; Peningkatan kepatuhan Wajib Pajak yang menyeluruh, terintegrasi, termasuk melalui optimalisasi kegiatan joint program (joint audit, joint analysis, joint investigation, joint collection, dan joint intelligence) dalam rangka sinergitas Kementerian Keuangan serta implementasi Compliance Improvement Plan yang efektif;
2. Pemberian insentif perpajakan yang terukur dan terarah, diantaranya untuk mendukung iklim investasi, peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat, pembangunan ekonomi hijau, pembangunan infrastruktur, serta meningkatkan daya beli masyarakat;
3. Penyusunan regulasi perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum, termasuk optimalisasi pelaksanaan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan kegiatan penegakan hukum yang berkeadilan melalui regulasi yang memberikan deterrent effect, dan
4. Penagihan Piutang Pajak.
Di luar berbagai strategi itu, reformasi perpajakan yang telah dilakukan sejak 2025 juga akan terus diperkuat untuk implementasinya, misalnya dengan mengejar pajak aktivitas ekonomi ilegal seperti shadow economy.
Pada 2025, Pemerintah menyusun kajian pengukuran dan pemetaan shadow economy di Indonesia, penyusunan Compliance Improvement Program (CIP) khusus terkait shadow economy, serta analisis intelijen untuk mendukung penegakan hukum terhadap wajib pajak berisiko tinggi. Pemerintah juga akan melakukan kajian intelijen dalam rangka penggalian potensi shadow economy tersebut.
Langkah-langkah konkret dalam memitigasi dampak shadow economy yang telah dilakukan meliputi integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang mulai efektif dengan implementasi sistem Core Tax Administration System (CTAS) pada 1 Januari 2025.
Proses canvassing aktif dilakukan untuk mendata dan menjangkau wajib pajak yang belum terdaftar, serta pemerintah telah menunjuk entitas luar negeri sebagai pemungut PPN atas transaksi digital PMSE untuk meningkatkan pengawasan dan penerimaan.
Sistem layanan perpajakan akan terus diperbaiki melalui implementasi CTAS, dan data pelaku usaha dari sistem OSS BKPM akan dimanfaatkan untuk menjaring UMKM.
Selain itu, pemerintah akan melakukan pencocokan (data matching) atas data pelaku usaha di platform digital yang belum teridentifikasi secara fiskal guna memperkuat basis data dan meningkatkan kepatuhan pajak secara menyeluruh.
"Ke depan, Pemerintah akan fokus mengawasi sektor-sektor dengan aktivitas shadow economy yang tinggi seperti perdagangan eceran, makanan dan minuman, perdagangan emas, serta perikanan," dikutip dari dokumen RAPBN 2026.
Selain mengejar pemajakan shadow economy, pemerintah juga akan mulai mengimplementasikan pajak minimum global pada 1 Januari 2026, pertukaran informasi keuangan secara otomatis (AEOI)untuk uang elektronik, mata uang digital, serta aset kripto.
Adapula penguatan kebijakan kerja sama internasional melalui kebijakan Assistance in Recovery of Tax Claims, yang memungkinkan penagihan pajak lintas negara secara resiprokal.
Pemerintah telah menjalin kesepakatan dengan 81 negara dan sedang menyusun kerja sama lebih lanjut dengan Jepang dan Korea untuk mendukung pengamanan penerimaan pajak serta meningkatkan kepatuhan global.
"Penerimaan pajak pada RAPBN tahun 2026 diperkirakan mencapai Rp2.357.714,3 miliar yang didukung oleh proyeksi perekonomian nasional dan kebijakan teknis pajak. Salah satu kebijakan teknis pajak adalah optimalisasi Compliance Risk Management dalam Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak," sebagaimana tertulis dalam dokumen RAPBN 2026.
(arj/haa)