Ekonomi Singapura Loyo, Ini Bukti Barunya
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Singapura sedang dalam tidak baik-baik saja. Ekspor domestik non-migas Negeri Singa turun 4,6% pada Juli 2025, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 12,9%.
Hal ini terjadi seiring anjloknya pengiriman barang non-migas ke Amerika Serikat (AS) hingga lebih dari 40%. Sektor farmasi memimpin penurunan pengiriman nonelektronik.
Ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara ini sangat bergantung pada perdagangan internasional. Negeri itu pun rentan terhadap perlambatan global yang dipicu kebijakan tarif resiprokal.
Sebenarnya Singapura sendiri hanya menghadapi tarif dasar sebesar 10% dari Presiden AS Donald Trump. Namun pada 6 Agustus lalu, Trump mengumumkan tarif 100% untuk semikonduktor (chip) dari perusahaan yang tidak berinvestasi di AS dan mengancam akan mengenakan tarif hingga 250% pada impor farmasi.
Berdasarkan data pemerintah Singapura, kontraksi ekspor utama Singapura ke AS sebesar 42,7% pada Juli 2025. AS menjadi pasar terbesar bagi Singapura dan sebagian besar disebabkan oleh penurunan 93,5% pada pengiriman produk farmasi.
"Anjloknya ekspor disebabkan oleh penurunan ekspor farmasi yang mencapai 93,5%," kata Enterprise Singapore, dikutip dari AFP, Senin (18/8/2025).
Sementara itu, ekspor mesin khusus turun 45,8% dan produk olahan makanan anjlok 48,8%. Tak hanya AS, ekspor domestik non-migas ke China dan Indonesia juga menurun pada Juli lalu, namun meningkat ke Uni Eropa, Taiwan, Korea Selatan, dan Hong Kong.
Pertumbuhan Ekonomi Semester II-2025 Singapura Terancam
Pihak berwenang telah memperingatkan pertumbuhan kemungkinan akan melambat pada semester kedua 2025 karena peningkatan ekspor dan produksi untuk mengatasi tarif AS mulai berkurang.
Pekan lalu, Enterprise Singapore menaikkan perkiraan pertumbuhan ekonomi 2025 menjadi 1,5-2,5%, dari sebelumnya 0-2.0% tetapi, lembaga pemerintah tersebut memperingatkan bahwa prospek untuk sisa tahun ini masih diselimuti ketidakpastian global, di mana sebagian akibat dari kebijakan tarif AS.
Sementara itu, Perdana Menteri (PM) Singapura, Lawrence Wong pada Minggu mengatakan bahwa ia merasa "tidak terlalu terhibur" dengan tarif dasar 10% yang dikenakan AS pada Singapura.
"Karena tidak ada yang tahu apakah, atau kapan, AS mungkin menaikkan tarif dasar itu, atau menetapkan tarif lebih tinggi untuk industri tertentu seperti farmasi dan semikonduktor," kata Wong dalam pidato di Hari Nasional Singapura.
"Yang kita tahu adalah akan ada lebih banyak hambatan perdagangan di dunia. Itu berarti ekonomi kecil dan terbuka seperti kita akan semakin terjepit," tambah Wong.
(sef/sef)