
Iran dalam Dilema, Terimpit Nuklir dan Ancaman Duo AS-Israel

Jakarta, CNBC Indonesia - Iran menghadapi pilihan krusial pascaperang singkat dengan Israel dan Amerika Serikat (AS). Elite politik dan ulama negeri itu kini terbelah antara melanjutkan program nuklir yang memicu sanksi dan risiko serangan lebih lanjut, atau kembali ke meja perundingan demi mempertahankan kelangsungan Republik Islam.
Perang 12 hari pada Juni lalu, yang dimulai dengan serangan udara Israel dan diikuti serangan AS ke tiga fasilitas nuklir Iran, berakhir dengan gencatan senjata rapuh. Kedua pihak mengklaim kemenangan, namun konflik ini memperlihatkan kerentanan militer Iran dan memukul citra kekuatan pencegahan negara itu di Timur Tengah.
Tiga sumber politik Iran mengatakan kepada Reuters, kepemimpinan kini melihat negosiasi dengan AS sebagai satu-satunya cara menghindari eskalasi dan ancaman eksistensial.
"Mereka telah melihat dampak dari konfrontasi militer," ujar salah satu sumber yang meminta identitasnya dirahasiakan, dikutip Jumat (15/8/2025).
Presiden Masoud Pezeshkian menegaskan melanjutkan perundingan tidak berarti menyerah. "Anda tidak ingin berunding? Apa yang ingin Anda lakukan? Apakah Anda ingin kembali berperang?" katanya menanggapi kelompok garis keras yang menentang diplomasi nuklir.
Namun, kritik datang dari Komandan Garda Revolusi Aziz Ghazanfari yang mengingatkan kebijakan luar negeri memerlukan kebijaksanaan. Keputusan akhir tetap berada di tangan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei. Sumber internal menyebut Khamenei dan elite ulama telah sepakat melanjutkan perundingan, meski Kementerian Luar Negeri Iran menyatakan belum ada keputusan resmi.
Di sisi lain, Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memperingatkan akan kembali menyerang jika Iran melanjutkan pengayaan uranium.
"Jika mereka melanjutkan, kami akan kembali," kata Trump pekan lalu.
Alex Vatanka, Direktur Program Iran di Middle East Institute, memperingatkan bahwa tanpa jaminan diplomatik atau keamanan, "serangan AS-Israel bukan hanya mungkin terjadi, serangan itu hampir tak terelakkan".
Iran bersikeras memiliki hak untuk memperkaya uranium untuk tujuan damai. Namun, AS menuntut penghentian total, sementara Eropa mengancam mengaktifkan kembali sanksi PBB melalui mekanisme "snapback". Teheran bahkan mengancam keluar dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir, meski para analis menilai itu hanya taktik tekanan.
Di dalam negeri, tekanan ekonomi dan sosial meningkat. Pemadaman listrik harian, krisis air, dan inflasi membuat publik frustrasi.
"Kami negara kaya sumber daya, tapi rakyat tak punya air dan listrik. Pelanggan saya tak punya uang. Bisnis saya kolaps," ujar Alireza, pedagang furnitur di Teheran.
Meskipun ketidakpuasan publik meluas, protes besar belum terjadi. Pemerintah justru memperketat keamanan, menindak aktivis pro-demokrasi, mempercepat eksekusi, dan membongkar jaringan mata-mata yang dikaitkan dengan Israel.
Pengamat menilai kemunculan kembali kaum moderat di media pemerintah bisa menjadi sinyal upaya meredakan keresahan publik, meski perubahan kebijakan besar dinilai belum mungkin tanpa arahan langsung Khamenei.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Iran-Houthi Respons Ancaman Trump, Timur Tengah Bersiap Perang Besar
