2 Bos Buruh Beda Suara Soal Data 303.000 Tenaga Kerja Baru Kemenperin

Damiana, CNBC Indonesia
12 August 2025 14:45
PMI Manufaktur RI Terendah di ASEAN, Kalah dari Vietnam
Foto: CNBC INDONESIA

Jakarta, CNBC Indonesia - Dua konfederasi serikat pekerja di Indonesia beda pendapat terkait data rekrutmen sekitar 303.000 tenaga kerja baru yang dirilis Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Sebelumnya, Kemenperin merilis, pada semester I tahun 2025, tercatat sebanyak 1.641 perusahaan telah melaporkan pembangunan fasilitas produksi baru melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas). Nilai investasinya disebut mencapai Rp803,2 triliun.

Menurut Kemenperin, dampak langsung dari ekspansi itu adalah penyerapan tenaga kerja baru yang diperkirakan mencapai 303.000 orang. Artinya, lanjut Kemenperin, data rekrutmen baru ini lebih tinggi dari data pemutusan hubungan kerja (PHK) yang disampaikan kementerian lain maupun asosiasi pengusaha.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengatakan, seharusnya data rekrutmen baru itu justru lebih besar. Tidak mungkin hanya 300-an ribu orang rekrutmen baru.

Meski begitu, Ristadi meminta pemerintah lebih transparan dengan membuka data detailnya.

"Kami percaya data 303 ribu itu, malah kurang banyak. Kalau tidak ada penyerapan sebesar itu, chaos di seluruh wilayah. Yang kita lihat hanya chaos di Bekasi dan Cianjur," katanya kepada CNBC Indonesia, Selasa (12/8/2025).

"Kenapa bisa chaos? Ya penyerapannya harus lebih dari itu. Karena angkatan kerja baru di Indonesia tumbuh setiap tahun, sekitar 3 jutaan atau 1,5 juta setiap semester. Jadi kalau hanya menyerap 300-an ribu, akan terjadi lonjakan pengangguran yang tinggi. Ini akan memicu chaos di seluruh wilayah karena yang terserap jauh di bawah angkatan kerja baru," jelas Ristadi.

KSPI Tolak Data Rekrutmen Baru Kemenperin

Berbeda, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang juga Presiden Partai Buruh Said Iqbal justru menyampaikan pendapat berseberangan dengan KSPN.

"Partai Buruh dan Koalisi Serikat Pekerja menolak data Kemenperin yang patut diduga "asal bapak senan dan politis". Bahkan dalam bulan Juli ini, sudah ada PHK di Tegal sebanyak 600 orang dan rencana PHK 200 orang di  Bekasi, dan di Kabupaten Bogor yang melakukan 87 orang, yang kesemuanya hak-hak buruhnya belum dibayarkan," katanya dalam keterangan tertulis.

"Seolah-olah kondisi dunia ketenagakerjaan baik-baik saja di tengah hantaman gelombang PHK besar-besaran di sektor riil dalam kurun waktu Januari-Juni 2025. Terutama PHK di sektor industri tekstil, garmen, elektronik, komponen elektronik, retail, perdagangan mal, hotel, dan sektor padat karya lainnya (labour intensif)," tambah Said Iqbal.

Said Iqbal lalu menjabarkan sejumlah alasan pendukung pernyataannya itu.

"Pertama, Kemenperin tidak menyajikan data dalam bentuk tabel jenis industri, nama perusahaan, jumlah serapan tenaga kerja, sektor formal atau informal, dan di daerah mana saja terjadi serapan tenaga kerja," katanya.

Kedua, dia mempertanyakan data Kemenperin yang menurutnya bertolak belakang dengan data yang disajikan oleh BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) yang dalam periode sama menyatakan jumlah peserta BP Jamsostek menurun akibat banyaknya buruh ter-PHK yang mengambil JHT dan menerima JKP.

"Bila mengikuti alur berfikir Kemenperin RI, seharusnya peserta BPJS Ketenagakerjaan jumlahnya bertambah sebanyak 303 ribu orang. Karena setiap orang yang bekerja di sektor formal ketika masuk bekerja maka pada saat itu langsung didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek). Tetapi kenapa BP Jamsostek menyebut jumlah peserta di Januari-Juni 2025 menurun angkanya. Sungguh ini data yang aneh," cetus Said Iqbal.

Ketiga, dia menduga, data rekrutmen baru 303 ribu orang itu menggabungkan pekerjaan informal sebagai orang yang bekerja sebagai tenaga kerja yang diserap. Mulai dari driver ojek online, bekerja di dapur MBG, pekerja paruh waktu, dan sektor informal lainnya.

"Keempat, apakah Kemenperin ketika menyajikan data serapan tenaga kerja sebesar 303 ribu orang tersebut menggunakan definisi BPS, yang mendefinisikan orang yang bekerja adalah orang yang bekerja 1 jam selama satu minggu? Bila definisi ini yang dipakai, maka data Kemenperin itu bias," ujarnya.

Dia lalu menyoroti pelaksanaan gelaran bursa kerja atau job fair yang ricuh dan membeludak, seperti di Bekasi dan Cianjur. Hal ini dijadikannya sebagai alasan kelima. Kericuhan job fair disebutnya menjelaskan fenomena susahnya orang mencari kerja dan tidak ada serapan tenaga kerja yang sesuai dengan data yang disajikan Kemenperin.

"Kelima, fakta di lapangan melalui media televisi atau media sosial sangat jelas terlihat, pelaksanaan job fair di seluruh Indonesia seringkali ricuh dan membeludak. Diperkirakan serapan tenaga kerja melalui job fair tersebut kurang dari 5 persen dari total pencari kerja," ucapnya.

Memang, imbuh dia, ada industri sepatu dari investor luar negeri, di antaranya dari Taiwan, Korea, dan China, yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Bahkan, sebutnya, ada 1 perusahaan bisa menyerap ribuan buruh.

"Tapi, mereka melakukan secara bertahap dalam beberapa tahun untuk menyerap tenaga kerjanya. Bukan langsung satu semester terjadi penyerapan tenaga kerja besar-besaran. Karena industri sepatu tersebut perlu membangun pabrik yang baru dan investasi mesin mesin yang baru secara bertahap dalam 3-5 tahun ke depan," sebutnya menjelaskan alasan keenam.

"Karena itu, buruh menuntut pemerintah untuk menyajikan data tentang lapangan kerja dan secara terbuka (transparan), terukur (accountable), dan tidak bias yang membuat seolah-olah negeri ini lapangan kerja terbuka luas dengan mudahhya. Padahal kondisi di lapangan berbeda jauh dari harapan," kata Said Iqbal.

Butuh 3 Juta Lapangan Kerja Baru

Sementara itu, Ristadi mengutip data BPS, yang menyebutkan setidaknya ada 3 juta orang angkatan kerja baru bertambah di RI setiap tahunnya.

"Kalau mau persentase pengangguran ingin stabil atau turun, maka dalam 1 tahun pemerintah harus mampu menyediakan lapangan kerja yang menyerap minimal sejumlah pertumbuhan angkatan kerja baru. Berapa itu? 3 juta dalam dalam 1 tahun," sebutnya.

"Maka dalam 1 semester harus disediakan 1,5 juta lapangan kerja baru. Kalau dikaitkan dengan data Kemenperin yang 303 ribu itu, kalau itu data akurat, berbahaya. Apa nggak kurang banyak itu?" ujar Ristadi.

Jika yang terserap hanya 303 ribu orang, maka jumlah pengangguran di Indonesia bisa naik jadi lebih besar lagi.

"Kita lihat nanti data BPS apakah angka pengangguran melonjak?" ucapnya.

"Katakanlah sisanya 1,2 juta dan terserap di sektor informal. Tapi itu bebannya terlalu besar. Kalau tidak dinaikkan, angka pengangguran akan meledak," kata Ristadi.

Foto Kolase Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi dan Presiden Partai Buruh, Said Iqbal. (Dok. Istimewa)Foto: Foto Kolase Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi dan Presiden Partai Buruh, Said Iqbal. (Dok. Istimewa)
Foto Kolase Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi dan Presiden Partai Buruh, Said Iqbal. (Dok. Istimewa)


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 70.000-an Pekerja Kena PHK, Serikat Buruh Ngamuk Mau Demo Besar

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular