
Negara Arab Selingkuhi Trump, Makin Mesra dengan Putin

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Uni Emirat Arab (UEA) Mohammed bin Zayed al Nahyan kembali mengunjungi Moskow untuk kedua kalinya dalam setahun. Kunjungan ini menandai semakin eratnya hubungan ekonomi dan strategis antara UEA dan Rusia, sekaligus menguji batas toleransi Amerika Serikat (AS) terhadap manuver politik mitra lamanya di kawasan Teluk.
Pertemuan Mohammed bin Zayed dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Kamis (7/8/2025) lalu difokuskan pada penguatan "kemitraan strategis" di bidang perdagangan, energi, investasi, dan isu geopolitik yang menjadi kepentingan bersama.
"Omzet perdagangan antara Rusia dan UEA kini mencapai US$11,5 miliar," ujar Bin Zayed, dikutip kantor berita pemerintah Rusia, TASS. "Kami ingin angka ini berlipat ganda dalam lima tahun ke depan, baik secara bilateral maupun dengan negara-negara Eurasia."
Hubungan antara Moskow dan Abu Dhabi terus menghangat sejak keduanya menandatangani kemitraan strategis pada 2018. Perdagangan kedua negara melonjak 68% secara tahunan pada 2022 menjadi US$9 miliar, menurut Kementerian Perdagangan Rusia.
UEA kini menjadi mitra ekonomi terpenting Rusia di Timur Tengah. Sekitar 4.000 bisnis Rusia beroperasi di UEA, dan negara Teluk ini menolak ikut serta dalam sanksi Barat terhadap Moskow. UEA bahkan menjadi tempat perlindungan bagi oligarki dan ekspatriat Rusia sejak pecahnya perang di Ukraina.
"Kunjungan ini menunjukkan bahwa UEA menghargai kemitraannya dengan Rusia dan akan terus mempererat hubungan," kata Anna Borshchevskaya, peneliti senior The Washington Institute kepada CNBC.
UEA sendiri tengah berupaya memainkan keseimbangan diplomatik antara tiga kekuatan besar: AS, Rusia, dan China. Meski tetap bergantung pada militer AS untuk keamanan, Abu Dhabi menegaskan independensi kebijakan luar negerinya.
"UEA ingin mempertahankan pendekatan non-blok. Mereka tidak memilih satu pihak, tapi justru memanfaatkan semua relasi untuk memperkuat posisi strategisnya," tambah Borshchevskaya.
Meski begitu, kedekatan dengan Rusia bukan tanpa risiko. AS pernah menyuarakan kekesalan terhadap UEA atas dugaan pelanggaran sanksi terhadap Moskow. Pada 2023, pemerintahan Biden memasukkan UEA dalam daftar "negara fokus" karena dugaan memfasilitasi ekspor barang dwiguna senilai lebih dari US$5 juta ke Rusia, termasuk semikonduktor yang berpotensi digunakan dalam sistem persenjataan.
"UEA merupakan pusat transit penting untuk perdagangan dwiguna. Ini berarti, secara tidak langsung, turut membantu mesin perang Rusia," ujar Borshchevskaya.
Peran Mediasi dan Kepentingan Ekonomi
Meski dikritik, peran mediasi UEA tak bisa diabaikan. Abu Dhabi menjadi salah satu saluran komunikasi utama antara Rusia dan negara-negara Barat, termasuk dalam pertukaran tawanan perang. UEA mengklaim telah memfasilitasi pemulangan lebih dari 4.000 tawanan sejak 2022.
Washington pun belum mengambil tindakan konkret terhadap UEA, sebagian besar karena Abu Dhabi adalah mitra strategis penting dalam sektor teknologi dan investasi. Pada Maret lalu, UEA menandatangani kerangka investasi jangka panjang senilai US$1,4 triliun di AS. Kunjungan Donald Trump ke kawasan Teluk pada Mei bahkan menghasilkan sejumlah kesepakatan besar di berbagai sektor.
"Persahabatan UEA dan Rusia memang menimbulkan ketegangan, tetapi belum menjadi prioritas konflik utama bagi AS, terutama di bawah pemerintahan Trump," kata Hussein Ibish, peneliti senior di Arab Gulf States Institute.
Namun, arah hubungan ini akan diuji jika AS mulai memberlakukan sanksi sekunder pasca-deadline gencatan senjata Ukraina. Para pemimpin Teluk diperkirakan akan memantau ketat apakah Washington akan mulai menekan Abu Dhabi.
"UEA tak lagi ingin menjadi bagian dari kampanye tekanan global. Mereka akan bertindak sesuai kepentingan nasionalnya sendiri, bukan berdasarkan tekanan dari AS, China, atau Rusia," tegas Michael Rubin, peneliti American Enterprise Institute dan mantan pejabat Pentagon.
(tfa/tfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 2 Negara Arab Tiba-Tiba Satukan Kekuatan dengan Israel & AS, Ada Apa?
