Terungkap! Strategi Jet Tempur China-Pakistan Jatuhkan Rafale India
CNBC Indonesia, Jakarta - Jet tempur Rafale milik India dilaporkan ditembak jatuh oleh jet tempur J-10C buatan China yang dioperasikan oleh Angkatan Udara Pakistan (PAF) dalam sebuah pertempuran udara skala besar pada 7 Mei. Insiden ini menyoroti keberhasilan strategi militer Islamabad yang mengandalkan perangkat keras Beijing dan sistem tempur multidomain modern untuk mengecoh kekuatan udara India.
Laporan Reuters pada Senin (4/8/2025) menyebut serangan bermula saat India meluncurkan operasi udara ke wilayah Pakistan, sebagai balasan atas tuduhan dukungan Islamabad terhadap kelompok militan yang menyerang Kashmir dan menewaskan 26 warga sipil.
Kepala Staf Angkatan Udara Pakistan, Marsekal Zaheer Sidhu, langsung memerintahkan jet-jet tempur J-10C untuk merespons. Target utama adalah Rafale, pesawat tempur andalan India yang belum pernah dijatuhkan dalam pertempuran.
"Dia menginginkan Rafale," ujar seorang pejabat senior PAF yang hadir di ruang operasi, mengutip perintah Sidhu. Pertempuran berlangsung selama lebih dari satu jam dan melibatkan sekitar 110 pesawat dari kedua pihak. J-10C menembakkan rudal PL-15 dari jarak sekitar 200 kilometer ke arah Rafale India, jarak yang menurut intelijen India dianggap di luar jangkauan.
"Kami menyergap mereka," kata pejabat PAF itu. "Pihak India tidak menyangka akan ditembaki."
Hal tersebut diamini oleh Justin Bronk, pakar pertahanan udara dari Royal United Services Institute (RUSI), Inggris. "PL-15 jelas sangat mumpuni pada jarak jauh, dan dalam kasus ini, India tak memiliki ekspektasi bahwa mereka berada dalam ancaman langsung," ujarnya.
Menurut sumber dari India dan Pakistan, kekeliruan intelijen menjadi faktor krusial jatuhnya Rafale. Pilot India mengira jangkauan maksimum rudal PL-15 hanya 150 kilometer, padahal rudal yang ditembakkan dari J-10C mampu menjangkau hingga lebih dari 200 kilometer. Akibatnya, Rafale berada dalam posisi rentan tanpa menyadarinya.
India membantah bahwa sistem Rafale terganggu oleh perang elektronik Pakistan, namun mengakui bahwa sistem komunikasi pada jet Sukhoi sempat mengalami gangguan dan kemudian menyebut bahwa sistem jet tersebut sedang dalam tahap peningkatan.
"Rafale tetap memiliki kesadaran penuh selama operasi," ujar salah satu pejabat senior India.
Militer Pakistan disebut berhasil mengintegrasikan sistem radar darat, pesawat pengintai Swedia, dan jet tempur China ke dalam jaringan pertempuran yang dikenal sebagai kill chain. Sistem ini memungkinkan data radar dibagikan secara real-time ke jet J-10C tanpa harus mengaktifkan radar internal, sehingga meningkatkan elemen kejutan dalam operasi.
"Pemenang dalam hal ini adalah pihak yang memiliki kesadaran situasional terbaik," ujar Greg Bagwell, mantan Marsekal Udara Inggris yang kini menjadi peneliti di RUSI.
India hingga kini belum secara resmi mengakui kehilangan Rafale. Namun, Kepala Staf Angkatan Udara Prancis mengatakan kepada wartawan pada Juni bahwa ia telah melihat bukti hilangnya satu unit Rafale dan dua jet tempur lain milik India. Pernyataan senada disampaikan seorang eksekutif senior Dassault Aviation kepada parlemen Prancis, meski tanpa menyebutkan detail spesifik.
Insiden ini berdampak langsung pada reputasi global Rafale dan produsen asal Prancis tersebut. Saham Dassault sempat turun setelah laporan jatuhnya pesawat itu. Sementara Indonesia, yang telah memesan Rafale dari Prancis, dikabarkan tengah mempertimbangkan opsi alternatif seperti J-10.
(tfa/tfa)