
'Wabah' Radikalisme Remaja Mulai Menjangkiti Eropa, Ini Tandanya

Jakarta, CNBC Indonesia - Jumlah remaja Prancis yang terjerat kasus dugaan terorisme kian mengkhawatirkan. Kantor Kejaksaan Anti-Teror Nasional Prancis (PNAT) mengungkap lonjakan signifikan jumlah remaja yang terseret dalam kasus dugaan terorisme dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut data PNAT, dari hanya segelintir kasus di masa lalu, jumlah remaja yang terseret terorisme meningkat menjadi 15 kasus pada 2023. Hingga 1 Juli 2024, sudah terdapat 11 kasus serupa yang melibatkan anak usia 13 hingga 18 tahun dari berbagai wilayah di Prancis.
"Beberapa tahun lalu, hanya sedikit anak di bawah umur yang didakwa dengan pelanggaran terkait terorisme," kata juru bicara PNAT, dikutip dari AFP, Rabu (30/7/2025). "Sekarang jumlahnya meningkat tajam, dan pola yang kami lihat sangat mengkhawatirkan."
PNAT menduga keterlibatan para remaja ini banyak dipengaruhi oleh paparan konten kekerasan ekstrem di media sosial, yang kini menjadi pintu masuk menuju radikalisasi ekstrem. Mereka disebut sebagai pengguna aktif media sosial dan penggemar konten ultrakekerasan, peperangan, hingga pornografi.
"Sebagian besar dari mereka bukan pelaku kenakalan remaja sebelumnya. Mereka cenderung introvert atau berasal dari keluarga dengan latar belakang yang bermasalah," imbuh pihak kejaksaan.
Sosiolog Farhad Khosrokhavar menambahkan bahwa usia remaja adalah masa transisi yang rentan dimanfaatkan kelompok ekstrem. "Mereka belum sepenuhnya anak-anak, tapi juga belum dewasa. Kekerasan menjadi saluran untuk merasa diakui," katanya.
Laurene Renaut, peneliti yang mempelajari jaringan jihad daring, menyoroti peran algoritma media sosial dalam proses radikalisasi. Konten tersebut mencakup nyanyian perang, pemenggalan, hingga simulasi kekerasan mendatang.
"Dalam waktu kurang dari tiga jam di TikTok, remaja bisa terperangkap dalam gelembung konten ISIS," ujarnya.
Remaja Termotivasi dari Rasa Ketidakadilan
Salah satu kasus menonjol melibatkan remaja 16 tahun yang dihukum karena merencanakan serangan terhadap bar-bar sayap kanan. Ia mengaku termotivasi oleh rasa "ketidakadilan" setelah menonton video penembakan massal di masjid Selandia Baru oleh Brenton Tarrant pada 2019.
"Saya pikir tidak adil melihat pria, wanita, dan anak-anak dibantai," katanya dalam persidangan. Ia juga mengaku mulai tertarik dengan narasi jihad setelah mengakses video-video ekstremis di media sosial.
Pengadilan menjatuhkan hukuman empat tahun penjara, dua tahun di antaranya ditangguhkan. Dalam putusannya, hakim mencatat bahwa meski remaja itu tidak menunjukkan tanda radikalisasi ideologis yang mengakar, latar belakang keluarganya yang disfungsional turut berperan besar dalam pembentukannya.
"Dia pada dasarnya adalah anak yang kesepian dan baik, yang tidak punya aktivitas lain selain bermain skuter dan menghabiskan waktu di depan komputer," kata pengacaranya, Jean-Baptiste Riolacci.
Sistem hukum Prancis saat ini mengedepankan pendekatan intervensi dini dengan mendakwa remaja karena asosiasi dengan tindak terorisme. Namun, pendekatan ini menuai kritik dari sejumlah pengacara.
Pierre-Henri Baert, salah satu kuasa hukum remaja lainnya, menilai hukuman yang dijatuhkan terlalu berat. "Klien saya masih sangat muda, tidak memiliki catatan kriminal, dan hanya dituduh mengunggah konten daring," ujarnya.
Kasus lain yang menyita perhatian adalah rencana tiga remaja berusia 14 dan 15 tahun untuk meledakkan truk di depan Kedutaan Besar Israel di Belgia. Mereka terdeteksi setelah menyampaikan pernyataan radikal di sekolah dan kemudian ditemukan membawa bahan peledak rakitan. Ponsel mereka juga berisi video pembantaian.
Jennifer Cambla, pengacara salah satu terdakwa, membantah keras tuduhan tersebut. "Klien saya memang mengakses situs terlarang, tetapi tidak ada bukti bahwa dia merencanakan serangan nyata," tegasnya.
Namun, beberapa pengacara lain menilai proses hukum bisa menjadi titik balik, meski ia mengakui prosesnya traumatis, seperti penangkapan oleh pasukan khusus bersenjata. "Menangkap mereka saat masih remaja bisa menyelamatkan masa depan mereka," kata seorang pengacara anonim.
Setelah ditangkap, para remaja ini ditempatkan dalam pengawasan ketat, dilarang mengakses media sosial, wajib menemui terapis, dan diarahkan kembali ke kegiatan positif seperti olahraga.
Namun keberhasilan pendekatan ini masih dipertanyakan. "Mereka mungkin tampak seperti sudah dideradikalisasi, tapi belum ada jaminan bahwa mereka tidak akan kembali tertarik pada ide-ide ekstremis," ujar salah satu sumber pengadilan.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Serangan Bom Mematikan Terjadi di Thailand, 5 Orang Tewas
