Perusahaan Nikel RI Memikul Beragam Beban, Ini Contohnya
Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkapkan saat ini para pengusaha tambang nikel dalam negeri sedang memikul beragam beban. Ini sudah terasa sejak awal tahun 2025 ini.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan pihaknya dihadapkan dengan 'beban' seperti penetapan Devisa Hasil Ekspor (DHE) menjadi 100%. Belum lagi, 'beban' para pengusaha juga bertambah dengan kewajiban penggunaan bahan bakar minyak dengan campuran B40.
"Sejak Januari 2025 beban-beban yang kita dapat, nih, ya, baik dari DHE ekspor jadi 100%, B40 yang katanya bentar lagi jadi B50, ya, itu sudah ada kenaikan biaya," jelasnya kepada CNBC Indonesia dalam program Mining Zone, dikutip Senin (28/7/2025).
Tidak sampai disitu, tarif pajak minimal yang harus dibayarkan oleh perusahaan multinasional (global tax minimum/GMT) juga dinilai memberatkan para pengusaha dalam memproduksi nikel di Indonesia.
"Kemudian ada juga dari GMT yang hampir 15%. Kemudian ada lagi, nih, yang pajak-pajak yang kayaknya, saya gak tahu, nih, apalagi pajak baru yang kayaknya mau dibebankan oleh Kementerian Keuangan," tambahnya.
Bahkan, kenaikan royalti sektor mineral di Indonesia beberapa waktu lalu juga menjadi beban bagi pengusaha. Dampaknya, terdapat sebanyak 28 liner fasilitas pemurnian dan pemrosesan Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) yang dihentikan operasinya.
"Ada sekitar, perhitungan kita ada sekitar 28 line RKEF shutdown. Oke. Nah, itu, kan, mau gak mau sudah, produksi sudah berkurang," imbuhnya.
Adapun, Meidy mengatakan pihaknya sudah beberapa kali melakukan diskusi dengan pemerintah untuk menyampaikan keluhan tersebut. "Karena kita sudah mulai beberapa kali diskusi, ya," tandasnya.
(pgr/pgr)