Bos Pengusaha Ungkap Fakta Ngeri Kasus PHK di RI, Ada Ancaman Ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani mengungkapkan, badai pemutusan hubungan kerja (PHK) belum berakhir. Bahkan, menurut survei internal Apindo, lebih dari setengah perusahaan yang ada di Indonesia sudah memangkas tenaga kerja dan masih berencana melanjutkannya.
"Dalam survei Apindo yang baru saja kami lakukan, lebih dari 50% responden menyatakan telah mengurangi tenaga kerja, dan masih akan terus melakukan hal ini," kata Shinta dalam acara Dewas Menyapa Indonesia di Jakarta, Senin (28/7/2025).
Ia menjelaskan, dunia usaha tengah menghadapi tekanan besar, baik dari dalam maupun luar negeri. Struktur industri manufaktur nasional dinilai masih bermasalah, terutama di aspek logistik dan rantai pasok.
"Struktur industri manufaktur masih mengalami masalah mendasar di sisi efisiensi logistik dan rantai pasok," ungkapnya.
Di saat yang sama, ketidakpastian ekonomi global dan kondisi geopolitik yang terus memburuk membuat para pelaku usaha semakin berhati-hati dalam mengambil keputusan.
"Situasi ekonomi global yang terus berubah, kondisi geopolitik yang semakin tinggi, proyeksi pertumbuhan yang terus menurun, ini membuat banyak perusahaan tidak memiliki cukup informasi untuk mengambil keputusan," ujar dia.
Akibatnya, banyak perusahaan memilih menahan ekspansi, memperlambat proses rekrutmen, dan fokus pada efisiensi dibanding mengambil risiko baru. Hal ini berujung pada pengurangan tenaga kerja dan lesunya penciptaan lapangan kerja baru.
"Yang paling mengkhawatirkan bukan hanya angka PHK, melainkan apa yang terjadi sesudahnya, yaitu tidak cukup banyak lapangan pekerja baru yang tercipta. Ini adalah tantangan terbesar," tegas Shinta.
Dari sisi produktivitas, Indonesia pun masih tertinggal di antara negara-negara ASEAN. "Produktivitas Indonesia hanya US$ 23,57 ribu per tenaga kerja, dibandingkan dari rata-rata ASEAN yang sudah US$ 24,27 ribu per tenaga kerja," ungkapnya.
Salah satu penyebabnya adalah dominasi pekerja berkeahlian rendah, serta lambatnya adaptasi tenaga kerja terhadap otomatisasi dan digitalisasi industri.
"Transformasi industri saat ini bergerak ke arah otomatisasi dan digitalisasi, juga belum bisa diimbangi dengan peningkatan keterampilan tenaga kerja. Literasi digital, vocational upscaling, dan ekosistem pendidikan yang responsif terhadap industri harus menjadi agenda bersama," tutur Shinta.
Ia menekankan, tanpa peningkatan daya saing dan kesiapan tenaga kerja, Indonesia bisa tertinggal dari negara-negara lain di kawasan.
"Kita bukan satu-satunya negara di dunia, Bapak-Ibu. Oleh karena itu, kita harus melihat apa yang terjadi di sekeliling kita," ujarnya.
Menurutnya, persoalan PHK tidak cukup diselesaikan hanya dengan berdebat soal data. Yang lebih penting adalah solusi konkret yang bisa dikerjakan bersama.
"Kita bisa berdebat soal data dan angka PHK di lapangan, tapi pada akhirnya persoalan kita bukan sekadar mencocokkan angka. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana, solusinya apa yang kita lakukan," tegas Shinta.
Apindo sendiri telah menggagas inisiatif Indonesia Incorporated untuk mengajak semua pihak bersinergi mencari solusi bersama. "Kita bisa bekerjasama untuk mencari solusi agar gelombang PHK tidak terus-terus meluas. Kita perlu bantuan dari para akademisi, para ekonom, seluruh masyarakat. Ini PR kita bersama," jelasnya.
Ia memastikan, Apindo tetap berkomitmen menjadi mitra pemerintah dan pekerja untuk menjaga stabilitas ekonomi dan ketenagakerjaan nasional. Namun ia juga menekankan bahwa kondisi saat ini tak bisa dihadapi dengan pola lama.
"Apindo menyadari bahwa tekanan ini tidak bisa dihadapi dengan pendekatan business as usual. Dibutuhkan langkah konkrit, kolaboratif, dan berorientasi pada kebaikan fundamental, baik dari sisi efisiensi biaya hingga kepastian perusahaan," pungkasnya.
(wur)