
Fenomena Rokok Murah Banjiri RI, Dirjen Bea Cukai Buka Suara

Jakarta, CNBC Indonesia - Tren konsumsi rokok masyarakat Indonesia masih terus mengalami pergeseran ke rokok murah. Membuat pemerintah menaruh perhatian khusus pada fenomena ini.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Djaka Budhi Utama mengatakan, fenomena yang disebut downtrading ini terjadi dalam bentuk beralihnya konsumsi masyarakat dari rokok jenis sigaret kretek mesin (SKM) ke sigaret kretek tangan (SKT) karena harganya yang jauh lebih murah.
Ia mengatakan, pergeseran konsumsi masyarakat ke rokok yang harganya jauh lebih murah ini turut mempengaruhi penerimaan cukai pada semester I-2025 yang tumbuh 7,3% menjadi Rp 109,2 triliun. Sebab, penerimaan naik tanpa adanya kebijakan kenaikan tarif cukai rokok pada tahun ini.
"Khususnya pergeseran konsumsi dari sigaret kretek mesin ke sigaret kretek tangan atau jenis rokok dengan harga lebih terjangkau turut menjadi faktor yang mempengaruhi dinamika tersebut," ujar Djaka dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR RI, dikutip lagi pada Senin (28/7/2025).
Bila merujuk pada data produksi rokok dan penerimaan negara, memang mengalami pergerakan seiring dengan penerapan tarif cukai hasil tembakau.
Berdasarkan data Ditjen Bea Cukai pada 2022, penerimaan cukai hasil tembakau mencapai Rp 218,3 triliun dengan produksi 323,9 miliar batang saat kenaikan tarif rata-rata 12% pada tahun itu. Sementara pada 2023 produksi menurun menjadi 318,1 miliar batang yang menyebabkan penerimaan cukai hasil tembakau menjadi Rp 213,5 triliun saat adanya kebijakan kenaikan tarif 10%.
Lalu, pada 2024, produksi kembali menurun menjadi 317,4 miliar batang, namun penerimaan meningkat menjadi Rp 216.9 triliun dengan kenaikan tarif yang dipertahankan tetap pada level 10%. Pada tahun ini, pemerintah memutuskan untuk tak menaikan tarif CHT melainkan hanya sebatas penetapan perubahan harga jual eceran rokok saja.
Di tengah kondisi itu, produksi rokok masih mengalami penurunan sampai dengan semester I-2025 yang hanya sebanyak 142,6 miliar batang. Pada semester I-2024 masih jauh lebih tinggi yakni 146,18 miliar batang.
Per Juni 2025 saja produksi rokok hanya sebanyak 24,8 miliar batang, turun 5,7% dibandingkan Mei tahun ini (month to month/mtm). Produksi tersebut juga jatuh 3,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy).
Produksi rokok pada Juni itu turun setelah melambung pada Mei 2025 (26,3 miliar batang). Produksi bulan lalu merupakan yang tertinggi sepanjang tahun ini.
Secara keseluruhan, produksi rokok Januari-Juni 2025 mencapai 142,6 miliar batang atau turun 2,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Bila dirunut sejak 2018-2025, produksi rokok Januari-Juni 2025 adalah yang terendah dalam delapan tahun, kecuali pada 2023.
Dengan kondisi itu, Djaka masih optimistis mampu mengerek penerimaan kepabeanan dan cukai sepanjang tahun ini. Sebab, ia mengaku sudah memiliki beberapa strategi untuk menjaga kesinambungan penerimaan negara dari sisi bea dan cukai.
"Dengan tetap menjaga keseimbangan antara fasilitasi dan pengawasan serta adaptif terhadap dinamika perekonomian global dan nasional," ujarnya.
Strategi itu terdiri dari enam kebijakan: Pertama, intensifikasi kebijakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dengan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) sebagai bantalan kebijakan; Kedua, intensifikasi tarif bea masuk komoditas tertentu; Ketiga, ekstensifikasi barang kena cukai; Keempat, perluasan basis penerimaan bea keluar; Kelima, penguatan nilai pabean dan pengembangan klasifikasi barang yang adaptif; Keenam, penguatan program kolaboratif Kementerian Keuangan.
(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Masyarakat RI Kompak Pindah ke Rokok Murah, Ini Respons Bea Cukai
