
Sisi Gelap Ekonomi China: Pemotongan Gaji-Warga Sibuk Kerja Sampingan

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian China mencatat pertumbuhan yang kuat sebesar 5,2% pada kuartal kedua 2025, menunjukkan model ekonominya yang berorientasi ekspor sejauh ini telah berhasil bertahan dari tarif AS. Namun, di balik ketangguhannya, keretakan semakin melebar.
Keterlambatan pembayaran kontrak dan tagihan meningkat, termasuk di antara para pelaku ekspor utama seperti industri otomotif dan elektronik. Selain itu, di sektor utilitas, yang pemiliknya terlilit utang, harus bekerja keras sambil menopang pabrik-pabrik yang terdampak tarif.
Di sisi lain, persaingan sengit untuk mendapatkan sebagian permintaan eksternal, yang terdampak ketegangan perdagangan global, menekan laba industri dan memicu deflasi di tingkat pabrik, bahkan ketika volume ekspor meningkat. Akhirnya, pekerja menanggung beban terberat dari pemotongan biaya oleh perusahaan.
Salah satu yang merasakan hal ini adalah seorang karyawan BUMN bernama Zhang Jinming. Ia bahkan harus menebus gajinya yang dipotong 24% dengan mengantar makanan selama tiga jam setiap malam setelah bekerja dan di akhir pekan.
"Menjadi kurir paruh waktu saat bekerja di perusahaan milik negara tidak bisa dianggap terhormat," kata Zhang, yang perusahaan real estatnya membayarnya 4.200 yuan (Rp 9,5 juta) per bulan, turun dari 5.500 yuan (Rp 12,4 juta).
Hal yang sama juga dialami Guru dari Linquan, sebuah kabupaten pedesaan berpenduduk 1,5 juta jiwa di China Timur. Ia mengatakan ia hanya menerima gaji pokok 3.000 yuan per bulan. Bagian gajinya yang berbasis kinerja, biasanya sekitar 16%, "terus-menerus tertunda."
"Setelah saya membayar biaya bensin, parkir, dan manajemen properti, sisanya tidak cukup untuk membeli bahan makanan," kata guru tersebut, yang hanya menyebut nama belakangnya Yun karena alasan privasi.
"Saya ingin mengemis. Kalau bukan karena orang tua saya, saya pasti sudah kelaparan."
Sejauh ini, tidak ada data tentang keterlambatan pembayaran di sektor pemerintah. Namun, di antara perusahaan industri, tunggakan meningkat pesat di sektor-sektor dengan kehadiran negara yang kuat, baik melalui kebijakan industri maupun, seperti di sektor utilitas, melalui kepemilikan langsung.
Tunggakan di sektor komputer, komunikasi, dan peralatan elektronik serta di sektor manufaktur otomotif masing-masing naik sebesar 16,6% dan 11,2% sepanjang tahun hingga Mei, lebih cepat daripada rata-rata 9% di seluruh industri. Tunggakan pembayaran naik masing-masing 17,1% dan 11,1% di sektor air dan gas.
"Angka-angka ini menunjukkan tekanan likuiditas dan merupakan efek samping dari otoritas yang memprioritaskan output daripada permintaan," kata Minxiong Liao, ekonom senior di GlobalData TS Lombard APAC.
"Akibatnya, pertumbuhan sektor-sektor unggulan ini akan lebih lambat."
(tps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Buruk, Xi Jinping Beberkan Situasi Ekonomi China
