
UU Ketenagalistrikan Direvisi DPR, Ini Alasannya

Jakarta, CNBC Indonesia - Komisi XII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tengah melakukan pembahasan mengenai Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Gatrik). Hal itu dilakukan demi menjamin akses listrik untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Sugeng Suparwoto mengungkapkan bahwa pihaknya telah membahas Revisi UU Gatrik kemarin, Senin (14/7/2025). Pihaknya telah menerima naskah akademik Revisi UU Gatrik dari Badan Keahlian Dewan untuk dibahas secara komprehensif.
"Maka, tadi, karena ini sudah kelanjutan sejak tahun lalu, atau periode lalu ketika kita di Komisi 7, dan tadi sudah tuntas naskah akademiknya, setelah dari tim keahlian Dewan ini melakukan berbagai, apalah, serap pendapat baik dari kalangan akademisi, pelaku, maupun pihak-pihak pemangku kepentingan lain yang berkaitan dengan kelistrikan dan migas," katanya saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, dikutip Selasa (15/7/2025).
Dia mengatakan, sejatinya UU Gatrik telah disesuaikan dalam UU Cipta Kerja (Ciptaker), namun hal itu dinilai belum mencakup keseluruhan urgensi yang dibutuhkan. Dengan demikian, Revisi UU Gatrik tetap akan dikaji oleh pihaknya.
Salah satu alasan utama yang menjadi sorotan dalam Revisi UU tersebut adalah perihal akses listrik bagi seluruh masyarakat Indonesia, tidak terkecuali di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
"Ingat, listrik bukan lagi barang mewah. Sehingga, hak setiap warga negara untuk bisa mengakses listrik," tegasnya.
Untuk bisa menjamin akses listrik tersebut, lanjut Sugeng, perlu pembangunan infrastruktur yang akan ditekankan menjadi kewajiban negara. Hal itu dikatakan untuk bisa memfasilitasi keterjangkauan listrik dari apapun sumbernya termasuk dari energi baru terbarukan (EBT).
"Nah, bahwa pengadaannya itu oleh siapa? Tadi sudah bahwa badan usaha yang bisa menyiapkan kebutuhan ketenagalistrikan itu bisa BUMN, BUMD, maupun koperasi atau swasta," jelasnya.
"Tidak ada lagi suara ketika listrik masuk desa, oh, gak ada transmisinya. Dengan undang-undang itu, mohon maaf, dipaksa negara untuk menyiapkan sejauh apapun. Kalau memang, lagi-lagi tadi, kan, infrastrukturnya berupa apa, kalau itu berupa skater-skater, misalnya pulau, lantas penyedia energinya itu PLN secara ekonomis tidak masuk, biarkanlah ada kreativitas masyarakat setempat sehingga akan hidup, misalnya, mikro hidro dan sebagainya," katanya.
Dengan adanya infrastruktur kelistrikan itu, kata Sugeng, juga bisa mendorong agar harga listrik yang dihasilkan di wilayah dengan sumber EBT lebih murah bila dibandingkan dengan listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Hal itu meski batu bara masih disubsidi oleh negara namun belum bisa menjangkau wilayah 3T.
"Artinya apa? Tidak fair kalau masyarakat atau kreativitas masyarakat karena ekonominya juga skala ekonominya kecil, lantas dibandingkan dengan harga listriknya PLN. PLN mau beli kalau setidaknya harganya tadi memenuhi kriteria harga PLN, di mana tadi semuanya disubsidi energi primernya," imbuhnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article DPR Tiba-Tiba Panggil Pengusaha SPBU Soal Isu BBM, Ini Hasilnya
