Harga Gabah Dipatok Rp6.500/Kg, Petani Padi RI Dapat Untung Berapa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp6.500 per kilogram (kg). Sekilas, angka ini terlihat menjanjikan bagi petani. Namun, seberapa besar sebenarnya keuntungan yang diterima petani?
Mengacu pada data yang dipaparkan Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Barat dalam webinar PERHEPI, Senin (14/7/2025), biaya usaha tani padi kini sudah tembus Rp27.943.000 per hektare (ha).
Biaya ini mencakup sewa lahan, pengolahan tanah, pembibitan, tanam, penyiangan, pemupukan, pengairan, hingga panen. Dengan produksi rata-rata 6.000 kg atau 6 ton per ha dan harga jual Rp6.500 per kg, maka total pendapatan kotor petani adalah Rp39.000.000.
Maka jika dibagi, biaya produksi per kilogram padi sekitar Rp4.657,17. Artinya, dengan harga jual Rp6.500 per kg, petani hanya mendapat margin keuntungan sekitar Rp1.842 per kg.
Sementara total keuntungan bersih per hektare yang diterima petani sekitar Rp11.057.000 per musim tanam atau sekitar 5 bulan. Artinya, selama pendapatan petani di periode itu adalah sekitar Rp2,2 juta per bulan.
Harga Gabah Sudah Lampaui HPP
Adapun perhitungan tersebut berdasarkan kondisi saat musim panen raya terjadi-Maret hingga Mei, sementara ketika panen raya sudah usai, harga gabah mulai bergerak naik. Seperti saat ini, harga gabah sudah tembus ke angka Rp7.000 per kg.
Hanya saja, harga jual gabah yang mencapai Rp7.000 per kg itu, ternyata tak semua petani bisa menikmatinya.
"Kalau (harga gabah) yang di atas Rp6.500 (per kg), seperti hari ini di atas Rp7.000 (per kg), hanya sebagian kecil petani yang masih melakukan panen," kata Ketua KTNA Jawa Barat Otong Wiranta, dikutip Selasa (15/7/2025).
Otong menegaskan, harga gabah yang tinggi tidak dinikmati semua petani, khususnya petani di sentra utama seperti di Karawang, Subang, dan Indramayu-karena mayoritas petani di daerah tersebut sudah panen lebih awal. Sementara yang masih panen adalah petani di daerah pesisir dengan hasil produksi yang cenderung rendah.
"Yang menikmati itu daerah-daerah yang biasanya telat tanam. Di daerah-daerah pesisir yang airnya sulit dibuang, sehingga produksinya juga tidak maksimal," ujarnya.
Selain itu, Otong pun mengingatkan pentingnya membedakan kategori petani sebelum menyimpulkan siapa yang diuntungkan dari harga tinggi ini.
"Buruh tani juga disebut petani, penyewa juga disebut petani, pemilik lahan juga disebut petani. Sehingga kalau misalkan pada saat-saat seperti ini banyak yang bertanya, apakah petani diuntungkan? Petani yang mana dulu?" ucap dia.
Dengan kata lain, ketika harga gabah naik, keuntungan hanya dinikmati segelintir petani-itu pun bukan keuntungan yang besar, dan hasil produksi yang cenderung cukup rendah.
(dce)