Netanyahu Kelewatan, 2 Eks PM Israel Tolak Kota Kemanusiaan Gaza
Jakarta, CNBC Indonesia - Dua politisi terkemuka Israel mengkritik rencana pemerintahan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu untuk membangun apa yang disebutnya "kota kemanusiaan" di Gaza selatan. Mereka menyebut hal ini sama saja dengan menahan warga Palestina di "kamp konsentrasi".
Mengutip Al Jazeera, Senin (14/7/2025), Mantan PM Yair Lapid dan Ehud Olmert merupakan pihak yang vokal dalam menolak hal ini. Lapid, pemimpin partai oposisi terbesar Israel, mengatakan kepada Radio Angkatan Darat Israel bahwa "tidak ada hal baik" yang akan dihasilkan dari rencana pembangunan "kota kemanusiaan" di atas reruntuhan kota Rafah.
"Itu ide yang buruk dari segala perspektif - keamanan, politik, ekonomi, logistik," ujarnya. "Saya tidak suka menyebut kota kemanusiaan sebagai kamp konsentrasi, tetapi jika keluar darinya dilarang, maka itu adalah kamp konsentrasi," tambahnya.
Olmert, yang menjabat sebagai perdana menteri Israel dari tahun 2006 hingga 2009, juga mengecam rencana Israel tersebut. Ia bahkan terang-terangan menyebut kota itu sebagai kamp konsentrasi.
"Jika mereka (warga Palestina) akan dideportasi ke 'kota kemanusiaan' yang baru, maka bisa dibilang ini bagian dari pembersihan etnis," ujarnya.
"Ketika mereka membangun kamp di mana mereka (berencana) untuk 'membersihkan' lebih dari separuh Gaza, maka pemahaman yang tak terelakkan dari strategi ini [adalah] bukan untuk menyelamatkan (warga Palestina). Melainkan untuk mendeportasi mereka, mendorong mereka, dan membuang mereka. Setidaknya, tidak ada pemahaman lain yang saya miliki."
Menurut pemerintah Israel, kota kemanusiaan ini awalnya akan menampung 600.000 warga Palestina terlantar yang saat ini tinggal di tenda-tenda di daerah Al Mawasi yang padat penduduk di sepanjang pantai selatan Gaza. Namun, pada akhirnya, seluruh penduduk enklave yang berjumlah lebih dari dua juta jiwa akan dipindahkan ke sana.
Citra satelit menunjukkan pasukan Israel telah meningkatkan operasi pembongkaran di Rafah dalam beberapa bulan terakhir. Pada 4 April, jumlah bangunan yang hancur mencapai sekitar 15.800. Pada 4 Juli, jumlahnya telah meningkat menjadi 28.600.
Pembersihan Etnis
Para pejabat kemanusiaan juga mengatakan bahwa rencana kamp interniran di Rafah akan menjadi dasar bagi pembersihan etnis warga Palestina dari Gaza.
Philippe Lazzarini, kepala badan PBB untuk pengungsi Palestina, atau UNRWA, yang telah dilarang oleh Israel, pekan lalu bertanya apakah rencana tersebut akan mengakibatkan "Nakba kedua". Istilah ini merujuk pada pengusiran ratusan ribu warga Palestina dari rumah mereka selama berdirinya negara Israel pada tahun 1948.
"Ini secara de facto akan menciptakan kamp konsentrasi besar-besaran di perbatasan dengan Mesir bagi warga Palestina, yang terus-menerus mengungsi lintas generasi," kata Lazzarini, seraya menambahkan bahwa hal itu akan "menghilangkan prospek masa depan yang lebih baik bagi warga Palestina di tanah air mereka".
Pemerintah Israel bersikeras bahwa pemindahan warga Palestina ke kamp interniran di Rafah akan bersifat "sukarela", sementara Netanyahu dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terus menggembar-gemborkan usulan mereka untuk memindahkan secara paksa semua warga Palestina di Gaza dari daerah kantong tersebut.
Netanyahu mengatakan dalam jamuan makan malam dengan Trump pekan lalu bahwa Israel bekerja sama dengan AS "sangat erat untuk menemukan negara-negara yang akan berupaya mewujudkan apa yang selalu mereka katakan, bahwa mereka ingin memberikan masa depan yang lebih baik bagi Palestina".
Sementara itu, Trump mengatakan bahwa pihaknya telah mendapatkan kerja sama yang sangat baik dari negara-negara di sekitar Israel. Menurutnya, "sesuatu yang baik akan segera terjadi".
Namun, negara-negara tetangga Israel dan negara-negara Arab lainnya telah dengan tegas menolak rencana penggusuran warga Palestina dari Gaza, begitu pula warga Palestina yang lelah perang di daerah kantong pesisir tersebut.
(tps/luc)