Bisakah Program Rumah Subsidi Berkembang Tanpa Bebankan APBN?

dpu, CNBC Indonesia
08 July 2025 15:47
Pekerja beraktivitas pada salah satu proyek pembangunan rumah bersubsidi di kawasan Kemang, Bogor, Jawa Barat, Selasa (14/1/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Pekerja beraktivitas pada salah satu proyek pembangunan rumah bersubsidi di kawasan Kemang, Bogor, Jawa Barat, Selasa (14/1/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Program pembiayaan rumah bersubsidi melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) telah menjadi tulang punggung akses hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Indonesia selama lebih dari satu dekade.

Sejak diperkenalkan pada 2010, FLPP telah membiayai lebih dari 1,5 juta unit rumah dengan skema bunga tetap 5% dan dukungan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Namun, di tengah tekanan fiskal negara yang semakin kompleks, muncul pertanyaan krusial: apa yang akan terjadi jika FLPP dihentikan?

Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), yang sejak 2021 menjadi pengelola utama dana FLPP menggantikan Kementerian PUPR, kini menghadapi dilema eksistensial.

Ketergantungan pada subsidi negara menjadi risiko struktural yang berpotensi melumpuhkan fungsi lembaga ini jika tidak segera melakukan reposisi strategis. Dalam konteks ini, kemampuan BP Tapera untuk bertahan, bahkan berkembang tanpa FLPP, menjadi agenda penting dalam diskursus kebijakan pembiayaan perumahan nasional.

Menurut Shan Saeed, Global Chief Economist di Juwai IQI, perusahaan proptech global yang beroperasi di lebih dari 10 kota dunia, mengatakan FLPP merupakan kebijakan ekonomi yang sangat tepat sasaran.

"Perumahan terjangkau bukan hanya kebijakan sosial, tetapi juga strategi ekonomi makro yang berdampak luas. FLPP telah menjadi katalis yang mendorong konsumsi rumah tangga, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat sektor konstruksi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi nasional," jelasnya, Selasa, (8/7/2025).

Saeed menyoroti bahwa hingga akhir 2025, lebih dari 115.000 rumah tangga berpenghasilan rendah telah menerima manfaat dari skema ini, dengan alokasi anggaran mencapai Rp29,1 triliun atau sekitar US$ 1,82 miliar. Namun demikian, ia mengingatkan bahwa setiap program subsidi memiliki siklus hidup yang terbatas.

"Subsidi adalah alat transisi, bukan solusi permanen. Ketika FLPP dikurangi atau bahkan dihentikan, BP Tapera harus siap bertransformasi menjadi lembaga yang mandiri dan berdaya tahan," ujar Saeed.

Ia menawarkan satu peta jalan konkret: menjadikan Tapera sebagai investor institusional yang dikelola profesional, mirip skema Central Provident Fund (CPF) di Singapura.

Dalam model ini, dana peserta yang berasal dari pemotongan gaji 3% dikelola dalam portofolio investasi yang aman dan berisiko terukur. Imbal hasil dari investasi tersebut kemudian didaur ulang menjadi sumber pembiayaan perumahan bagi peserta.

"Dengan cara ini, BP Tapera tidak lagi bergantung pada APBN, tetapi dapat menjadi sumber pembiayaan berkelanjutan berbasis pasar," jelasnya.

Namun jalan menuju kemandirian Tapera bukan tanpa tantangan. Hingga saat ini, cakupan peserta Tapera masih sangat terbatas, mayoritas dari kalangan aparatur sipil negara (ASN). Sektor swasta dan pekerja informal belum tersentuh secara signifikan. Menurut Saeed, inilah titik lemah yang harus segera diperbaiki.

"BP Tapera perlu membuka akses seluas-luasnya melalui platform digital yang memungkinkan kontribusi mikro dan fleksibel. Selain itu, insentif fiskal dan regulasi bagi pemberi kerja swasta sangat diperlukan untuk memperluas partisipasi," katanya.

Selain optimalisasi dana peserta, BP Tapera juga perlu mengeksplorasi skema pembiayaan alternatif. Saeed menyebut skema sewa-milik (rent-to-own) dan pembiayaan mikro berbasis koperasi sebagai dua instrumen potensial yang dapat menjangkau masyarakat yang belum bankable. "Banyak masyarakat memiliki kemampuan mencicil, tetapi tidak memenuhi kriteria kredit bank.

Di sinilah Tapera bisa masuk, bekerja sama dengan koperasi, BUMDes, atau fintech untuk merancang skema pembiayaan jangka panjang yang fleksibel dan terjangkau," katanya.

Instrumen lain yang mendapat sorotan adalah penerbitan obligasi sosial atau Tapera Bonds. Instrumen ini memungkinkan BP Tapera menarik dana dari investor institusional berbasis prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance).

"Tapera Bonds yang dijamin aset properti dan dikelola secara transparan akan menarik investor global yang peduli dampak sosial. Ini bukan mimpi, tapi peluang nyata," tegas Saeed.

Semua langkah tersebut mensyaratkan satu hal: reposisi kelembagaan BP Tapera. Dari penyalur subsidi menjadi pengelola ekosistem pembiayaan perumahan nasional. Peran Tapera harus bergeser dari birokrasi administratif ke fungsi strategis sebagai agregator antara peserta, pengembang, lembaga keuangan, dan investor.

Selain itu, Tapera juga perlu menjadi pusat data perumahan nasional, penyedia analitik kebijakan, dan motor inovasi pembiayaan berkelanjutan.

Namun perubahan struktural ini tidak akan berarti tanpa dukungan publik. Saat ini, BP Tapera masih menghadapi krisis kepercayaan dari kalangan pekerja swasta. Banyak yang belum memahami manfaat program ini dan khawatir terhadap efisiensi serta keamanan dana.

Berbeda dengan BPJS Kesehatan atau Jaminan Hari Tua (JHT) yang manfaatnya bersifat langsung, Tapera bersifat jangka panjang dan tidak "terasa" secara kasat mata. Inilah pekerjaan rumah terbesar Tapera: membangun kepercayaan publik melalui transparansi, edukasi, dan akuntabilitas.

Jika BP Tapera tidak melakukan transformasi sekarang, ia akan terjebak dalam siklus ketergantungan terhadap FLPP dan subsidi negara. Padahal lembaga ini memiliki mandat hukum yang kuat, potensi dana jangka panjang, dan peran strategis dalam menopang pilar pembangunan nasional.

Jadi, apa yang bisa dilakukan BP Tapera selain FLPP? Jawabannya: banyak asal berani berubah.

BP Tapera bisa menjadi arsitek utama sistem pembiayaan perumahan yang inklusif, mandiri, dan berkelanjutan. Namun seperti yang diingatkan Shan Saeed, "Pemerintah yang visioner harus selalu berpikir lima langkah ke depan. Jika FLPP dihentikan hari ini, Tapera harus sudah siap berdiri sendiri bukan jatuh bersama subsidi."

Dan pada akhirnya, pertanyaan yang lebih penting untuk dijawab adalah: apakah Indonesia siap membangun ekosistem perumahan tanpa subsidi?

Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan masa depan Tapera, dan lebih jauh lagi, masa depan jutaan keluarga yang mendambakan rumah layak untuk hidup yang lebih bermartabat.


(dpu/dpu)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kuota Rumah Subsidi Habis, Pengembang Minta Kriteria Diperjelas

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular