Terungkap! RKAB Nikel RI tahun 2025 Capai 364 Juta Ton

Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia
09 July 2025 17:45
FILE PHOTO: A worker holds iron ore at the Krakatau Bandar Samudra port, a subsidiary of PT Krakatau Steel Tbk in Cilegon, Indonesia's Banten province February 21, 2013. REUTERS/Beawiharta/File Photo
Foto: Bijih Besi (REUTERS/Beawiharta)

Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) membeberkan bahwa Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang disetujui oleh pemerintah untuk tahun 2025 ini sebesar 364 juta ton. Ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2024 yang mencapai 319 juta ton.

Hal ini diungkapkan langsung oleh Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey. "Nah, 2025 ini karena masih persetujuan 3 tahun, ya, di 2025 ini, kan, sudah 364 juta (ton) persetujuan RKAB-nya," jelasnya kepada CNBC Indonesia dalam program Mining Zone, dikutip Rabu (9/7/2025).

Sayangnya, RKAB yang tinggi tersebut tidak diikuti oleh serapan pasar akan nikel. Meidy menyebutkan, produksi nikel tahun 2024 sebesar 319 juta ton hanya terserap sebesar 220 juta ton.

Menurut catatannya, realisasi serapan nikel dari produksi anggota APNI pada tahun 2025 ini hingga bulan Juni saja terhitung baru mencapai 120 juta ton. Hingga akhir tahun, Meidy memproyeksi serapan nikel juga tidak mencapai jumlah produksi nikel yang disetujui tahun ini.

"Dari Januari sampai bulan Juni 120 juta (ton). Ini prediksi kami di tahun kuartal ketiga, kuartal keempat ini akan terserap sampai 150 juta (ton)," katanya.

Tingginya produksi nikel di Tanah Air juga dinilai membuat oversupply pasokan nikel dunia yang berimplikasi pada anjloknya harga nikel. Pihaknya mencatat, sejak tahun 2023 lalu, Indonesia menyumbang kelebihan pasokan nikel dunia hingga 31% ditambah dengan tahun 2024 yang juga tercatat nikel dunia lebih hingga 16%.

"Ya, karena berulang-ulang saya sampaikan sejak 2022 itu kita sudah over banget, lho," tegasnya.

Dengan begitu, dia mengatakan penambang nikel dalam negeri mengajukan RKAB berdasarkan jumlah cadangan yang tersedia, sedangkan pemerintah yang seharusnya memperhitungkan berapa RKAB yang disetujui untuk menyeimbangkan produksi dengan permintaan pasar.

"Jadi, kalau IUP saya, misalnya, cadangan sekian, FS saya sekian, data eksplorasi saya sekian, itulah pengajuan kita. Nah, itu tidak dihitung dengan berapa kapasitas demand-nya. Nah, ini, kan, yang harus di-balancing dulu," tandasnya.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Produksi Nikel RI Jadi Dipangkas? Ini Kabar Terbaru dari ESDM

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular