Pengusaha Warning Ada Ancaman PHK Massal karena Tarif Tinggi Trump
Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam waktu satu pekan ke depan bakal berlaku kebijakan tarif baru oleh Amerika Serikat. Beberapa industri dikhawatirkan bakal ikut terdampak kebijakan ini, utamanya yang mengandalkan pasar ekspor ke AS, salah satunya industri furnitur.
Kalangan pengusaha pun mengkhawatirkan bakal terjadi gelombang PHK jika tarif ekspor tetap tinggi.
"Dampak ke lapangan kerja HIMKI mengestimasi sektor furnitur dan kerajinan padat karya menyerap lebih dari 3 juta tenaga kerja baik langsung dan tidak langsung. Jika kehilangan pasar 10-15% saja karena buyer pindah, maka berpotensi PHK bisa lebih dari 270.000 pekerja langsung dan tidak langsung," kata Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur kepada CNBC Indonesia, Selasa (1/7/2025).
PHK itu berpotensi terjadi ketika produk Indonesia tidak bisa bersaing dengan negara lain akibat tingginya tarif. Sebagai contoh, negara seperti Vietnam memiliki Free Trade Agreement (FTA) dengan Uni Eropa sejak 2020 lalu, maka tarif ekpsornya menjadi lebih rendah. Sedangkan Indonesia belum memiliki FTA dengan Uni Eropa dan AS, sehingga hanya terikat Most Favored Nation (MFN) dan Generalized System of Preferences (GSP).
"Risiko penurunan daya saing jika tarif ke pasar utama seperti AS dan Eropa tidak preferensial, sementara Vietnam, Malaysia, India tetap lebih rendah, buyer akan merelokasi pesanan ke negara pesaing," tuturnya.
"Contoh konkrit Vietnam dapat tarif MFN serta FTA dengan AS maka tarif furnitur hanya hampir 0-4%, sedangkan Indonesia kena GSP atau MFN maka tarifnya 5-10% sehingga gap margin signifikan," ujar Abdul Sobur.
Karena itu, penetapan tarif yang lebih rendah dibanding negara pesaing seperti Vietnam dan Malaysia akan membuka peluang strategis bagi Indonesia.
"Dengan dukungan kebijakan tarif yang tepat, Indonesia bisa menarik investasi global, menciptakan 5 hingga 6 juta lapangan kerja baru, baik langsung maupun tidak langsung, dan meningkatkan ekspor mebel-kerajinan menjadi US$ 6 miliar dalam lima tahun ke depan," ujarnya.
Sebaliknya, apabila tarif ekspor Indonesia lebih tinggi dari negara pesaing, akan terjadi penurunan permintaan yang signifikan dari para buyer. Hal ini berisiko menyebabkan kehilangan momentum pertumbuhan dan berkurangnya peluang untuk menjadikan Indonesia sebagai hub produksi dunia.
Upaya untuk melakukan deregulasi secara menyeluruh harus dilakukan untuk menyelesaikan berbagai hambatan nyata yang dihadapi pelaku usaha, khususnya eksportir sektor mebel dan kerajinan.
"Proses deregulasi juga sebaiknya mengacu pada praktik negara pesaing utama agar regulasi yang dihasilkan benar-benar kompetitif dan adaptif terhadap dinamika ekonomi global," sebut Abdul Sobur.
(fys/wur)